Studi terbaru menyebut Madagaskar tidaklagi menghasilkan flora dan fauna jenis baru.
Pulau kecil di ujung bawah Benua Afrika
itu disebut Madagaskar. Negara dengan luas 587.041 kilometer persegi yang
selama ini dikenal sebagai surganya keanekaragaman hayati.
Meski hanya mewakili satu persen dari
muka bumi, Madagaskar menjadi rumah bagi tiga persen hewan dan tumbuhan di
dunia. Namun, studi terbaru menjelaskan bahwa perkembangan spesies flora dan
fauna di pulau ini nyaris berakhir.
Dikatakan Daniel Scantlebury, mahasiswa
S3 di bidang biologi, jumlah spesies yang hanya ditemukan di Madagaskar sangat
banyak. "Tapi studi ini menunjukkan ada batasan terhadap jumlah spesies
yang bisa ditampung suatu pulau, dan Madagaskar berada pada batas itu,"
ujar Scantlebury, Selasa (9/7).
Kesimpulan ini didapat Scantlebury
setelah menganalisa catatan evolusi tujuh grup reptil dan amfibi yang ditemukan
di penjuru Madagaskar. Termasuk bunglon kecil yang hanya sebesar biji korek dan
beragam cicak.
Dengan membangun ulang pohon evolusi dan
membandingkannya dengan usia relatif para spesies, ia menemukan adanya
penurunan pembentukan spesies baru di Madagaskar sejak lokasi ini memisahkan
dari super benua Gondwana, sekitar 90 juta tahun lalu.
Pola ini diperkirakan merupakan hasil
dari radiasi adaptif. Di mana prinsip utamanya adalah organisme berkembang
dengan cepat menjadi spesies baru dalam rangka mengambil keuntungan dari sumber
daya yang ada di lingkungan kosong. Ketika evolusi mengisi ceruk itu dengan
spesies baru, maka tingkat diversifikasi spesies akan memperlambat atau
berakhir.
Menurut Scantlebury, beberapa studi awal
mendukung teori radiasi adaptif ini. Di mana terjadi ledakan diversifikasi di
antara grup flora dan fauna di hutan hujan.
"Studi saya melanjutkan ke level
berikutnya dengan melihat penurunan berikutnya," kata Scantlebury yang
hasil studinya akan dirilis pekan ini lewat jurnal Proceedings of the Royal
Society B.
(AHM/NGI)
(AHM/NGI)