Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah memuliakan dan menghinakan suatu kaum dengan al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Maksudnya kemuliaan dan kehinaan suatu,
kaum, bangsa, dan ummat sangat ditentukan oleh kadar perlakuan mereka
terhadap al-Qur’an. Jika mereka memuliakan al-Qur’an maka Allah
memuliakan mereka. Sebaliknya jika mereka mengabaikan al-Qur’an, maka
kehinaan akan Allah timpakan kepada mereka.
Tentu saja manusia paling mulia yang
dimuliakan oleh Allah lantaran perlakuan mulia mereka terhadap al-Qur’an
–setelah Rasulullah- adalah generasi awal ummat ini. Mereka yang biasa
dikenal dengan sebutan salafus saleh digelari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik Islam. Nabi mengatakan dalam sabdanya,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian yang setelah mereka (para tabi’in), lalu yang setelah mereka (tabi’ tabi’in)”. (HR. Bukhari).
Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, salah
satu sebab kemuliaan dan kejayaan mereka adalah lantaran berpegang
teguh dengan al-Qur’anul Karim. Oleh karena itu, bagi yang ingin
mengikuti jejak mereka hendaknya mengenali manhaj dan metode mereka
dalam berinteraksi dengan al-Qur’an.
Syekh Dr. Muhammad ibn Abdillah Rabi’ah hafidzahullah
mengatakan bahwa, “Siapapun yang mengamati kehidupan para salaf, akan
menemukan bahwa mereka memiliki manhaj tertentu dalam berinteraksi
dengan kitab suci yang agung ini (al-Qur’an)”. Selanjutnya, dosen di
Universitas Qasim Saudi Arabia ini menyebutkan empat metode para salaf
dalam berinteraksi dengan al-Qur’an:
1. Mengenali Keagungan dan Maksud diturunkannya Al-Qur’an
Hal itu dimaksudkan untuk menumbuhkan
kecintaan dan pengagungan terhadap al-Qur’an. Sebab kecintaan,
pengagungan, dan keimanan terhadapnya dapat menumbuhkan husnut ta’amul
(interaksi yang baik) dengan al-Qur’an. Karena barang siapa yang
mengetahui nilai sesuatu maka ia kan memperhatikannya. Sikap seperti ini
dapat kita saksikan pada kehidupan para generasi awal Islam. Perkataan
dan perbuatan mereka mencerminkan kecintaan, pengagungan, dan keimanan
terhadap al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya mari simak perkataan Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut ini.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah ma’dubah
(jamuan)-Nya Allah, maka pelajarilah (nikmatilah) jamuan-Nya semampu
kalian. Al-Qur’an ini adalah tali Allah yang Dia perintahkan untuk
-berpegang- dengannya. Ia adalah cahaya Allah yang terang, obat penawar
yang sangat bermanfaat, serta pelindung bagi yang berlindung dengannya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata, “Allah menjamin orang yang membaca al-Qur’an tidak akan sesat
di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat. Lalu beliau membaca firman
Allah, “famanittaba’a hudaya fala yadhillu wala yasyqa. . . .
(lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka.)“(QS. Thaha:123). (Mustadrak, Imam Hakim, 2/413,
no.3438). Yang dimaksud dengan membaca adalah mengikuti petunjuknya
sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut.
Saat ini kita sangat butuh untuk membina
hati-hati kita untuk mencintai dan mengagungkan al-Qur’an. Karena sikap
pengagungan, kecintaan yang tulus, dan keimanan terhadap al-Qur’an
telah berkurang pada sebagian kalangan. Hal ini menyebabkan lemahnya
interaksi kita dengan al-Qur’an. Solusinya adalah menanamkaan
pengagungan dan kecintaan terhadap al-Qur’an dalam hati-hati kita dan
membangun kesadaran tentang perlunya merealisasikan tujuan diturunkannya
al-Qur’an.
2. Belajar dan Mengajarkan Iman Sebelum Al-Qur’an
Maksudnya, terlebih dahulu menanamkan
dalam hati-hati mereka pengagungan kepada Allah, serta pengagungan
terhadap perintah dan larangan-Nya. Sehingga mudah bagi mereka menerima
dan merespon hukum-hukum syariat. Ini merupakan aspek paling uatama
dalam menghidupkan tarbiyah Qur’aniyah dalam jiwa setiap orang.
Manhaj inilah yang diterapkan al-Qur’an
sendiri dalam membina para sahabat di awal-awal Islam. Dimana ayat-ayat
al-Qur’an yang pertama-tama turun dalam ayat-ayat Makkiyah menanamkan
keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sehingga tumbuh dalam hati mereka
iman yang shahih, pengagungan terhadap al-Qur’an. Pada puncaknya hal itu
mengondisikan jiwa mereka untuk menerima taujihat (arahan-arahan)
al-Qur’an secepatnya.
Salah seorang sahabat nabi yang merupakan salah satu murid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jundub ibn ‘Abdillah mengatakan, “kami bersama nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam,
saat kami pemuda, kami belajar iman sebelum al-Qur’an. Lalu kami
belajar al-Qur’an, sehingga iman kami bertambah. (Sunan Ibnu Majah,
1/74, no.64, dan Imam Tarikh al-Kabir, 2/221, Sunanul Kubro , 2/49, no.
5498, Mu’jam al-Kabir, 2/225 no. 1656, dan dishahihkan oleh Syekh
al-Bani dalam Shahih Sunan Ibn Majah, 1/16, no.52)
Seperti itulah nabi memulai dengan
menamkan keimanan dalam hati-hati mereka. Sehingga ketika iman telah
merasuk dalam hati, mereka telah siap untuk menerima al-Qur’an, siap
diarahkan dan dibimbing oleh al-Qur’an. Maka pada puncaknya, iman mereka
makin bertambah.sehingga mudah menerima pesan-pesan dan arahan-arahan
al-Qur’an.
3. Memposisikan al-Qur’an Sebagai Surat ”Risalah” dari Allah
Para salaf rahimahumullah
menempatkan al-Qur’an sebagai surat dari Allah yang ditujukan kepada
mereka untuk diamalkan. Oleh karena itu mereka selalu membaca dan
mengamalkannya siang dan malam. Imam Hasan al-Bashri rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian memandang
al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka, oleh karena itu mereka
mentadaburinya pada malam hari dan mengamalkannya pada siang hari”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
menuturkan bahwa, “Diantara kami -ada- yang mempelajari sepuluh ayat
al-Qur’an, ia tidak melewati ayat-ayat tersebut hingga ia mengetahui
maknanya dan mengamalkannya”. Artinya ia tidak berpindah ke ayat
berikutnya, sebelum memahami makna kesepuluh ayat tersebut dan
mengamalkan kandungannya. Ibnu Mas’ud juga berkata, “Seorang pengemban
al-Qur’an hendaknya dikenali (dengan shalatnya) pada waktu malamnya saat
orang-orang sedang tidur, (dengan puasanya) pada siang hari saat
orang-orang sedang makan, dengan sedihnya saat orang-orang bergembira
ria, dengan tangisannya saat orang tertawa, dengan diamnya saat
orang-orang berbicara dan dengan khusyu’nya saat orang-orang angkuh.”
Manhaj inilah yang telah berhasil menelorkan generasi awal Islam. Andaikan kita ber-talaqqi al-Qur’an seperti generasi awal mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu kita jadikan sebagi metode dalam membina generasi muda Islam hari
ini, maka kita akan meyaksikan pengaruh dan warna al-Qur’an pada jiwa
dan perilaku kaum Muslimin.
4. Membaca al-Qur’an dengan Tartil dan Perlahan-lahan Serta Membacanya dalam Shalat Malam.
Hal ini nampak dalam kehidupan para salaf, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, ”Aku pernah safar bersama ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Makkah ke Madinah. Beliau melakukan qiyamullail
dengan membaca al-Qur’an huruf demi huruf.kemudian beliau menangis
hingga terdengar isak tangis beliau” (Mukhtashar Qiyamul Lail, hlm.131).
Beliau juga mengingatkan agar kita
janganlah membaca al-Qur’an dengan cepat, “janganlah kalian membaca
al-Qur’an dengan cepat seperti membaca sya’ir dan prosa. Berhentilah
sejenak pada keajaiban-keajaibannya, gerakkan hati dengan ‘ajaib-ajaib
tersebut. Janganlah yang menjadi target kamu (sampai) pada akhir surat”,
tegasnya.
Membaca dengan tartil dan perlahan-lahan
yang disertai tadabbur (perenungan) lebih merasuk ke dalam jiwa. Apatah
lagi jika dilakukan dalam shalat atau diwaktu malam, sebagaimana
dikatakan oleh Syekh asy-Syinqithiy rahimahullah, “Tidak ada
yang dapat meneguhkan al-Qur’an dalam dada, serta memudahkan menghafal
dan memahaminya, kecuali dengan membacanya dalam shalat di tengah malam
(Muqaddimah Adhwaul Bayan, 1 /4).
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk membaca al-Qur’an secara tartil dalam shalat malam. Karena menurut Ibnu Abbas hal itu lebih memudahkan untuk memahami al-Qur’an (ajdaru an yafqaha al-Qur’an).
Singkatnya, al-Qur’an merupakan sumber
inspirasi dan energi kehidupan para salaf. Mereka mementingkannya
melebihi kepentingan mereka terhadap makanan dan minuman. Sebab mereka
sadar, bahwa kehidupan yang hakiki danya dapat diraih dengan mengikuti
petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu, jika ingin menikmati lezatnya
al-Qur’an mari mengikuti manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi
dengan al-Qur’an. Ja’alanallahu waiyyakum min ashabil Qur’an. Wallahu a’lam bis Shawab.
(diadaptasi dari “Manhajus Salaf fi Talaqqil Qur’an wa Tadabburihi” dalam bab “Tsalatsuna Majlisan fit Tadabbur; Majalis Imaaniyah wa ‘Ilmiyyah”, hlm.43-50). [syam]