4 Metode Salaf dalam Berinteraksi dengan Al-Qur'an

9:07 PM

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah memuliakan dan menghinakan suatu kaum dengan al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Maksudnya kemuliaan dan kehinaan suatu, kaum, bangsa, dan ummat sangat ditentukan oleh kadar perlakuan mereka terhadap al-Qur’an. Jika mereka memuliakan al-Qur’an maka Allah memuliakan mereka. Sebaliknya jika mereka mengabaikan al-Qur’an, maka kehinaan akan Allah timpakan kepada mereka.

 
Tentu saja manusia paling mulia yang dimuliakan oleh Allah lantaran perlakuan mulia mereka terhadap al-Qur’an –setelah Rasulullah- adalah generasi awal ummat ini. Mereka yang biasa dikenal dengan sebutan salafus saleh digelari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik Islam. Nabi mengatakan dalam sabdanya,


“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian yang setelah mereka (para tabi’in), lalu yang setelah mereka (tabi’ tabi’in)”. (HR. Bukhari).
Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, salah satu sebab  kemuliaan dan kejayaan mereka adalah lantaran berpegang teguh dengan al-Qur’anul Karim. Oleh karena itu, bagi yang ingin mengikuti jejak mereka hendaknya mengenali manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an.
Syekh Dr. Muhammad ibn Abdillah Rabi’ah hafidzahullah mengatakan bahwa, “Siapapun yang mengamati kehidupan para salaf, akan menemukan bahwa mereka memiliki manhaj tertentu dalam berinteraksi dengan kitab suci yang agung ini (al-Qur’an)”. Selanjutnya,  dosen di Universitas Qasim Saudi Arabia ini menyebutkan empat metode para salaf dalam berinteraksi dengan al-Qur’an:

1. Mengenali Keagungan dan Maksud diturunkannya Al-Qur’an
Hal itu dimaksudkan untuk menumbuhkan kecintaan dan pengagungan terhadap al-Qur’an. Sebab kecintaan, pengagungan, dan keimanan  terhadapnya dapat menumbuhkan husnut ta’amul (interaksi yang baik) dengan al-Qur’an. Karena barang siapa yang mengetahui nilai sesuatu maka ia kan memperhatikannya. Sikap seperti ini dapat kita saksikan pada kehidupan para generasi awal Islam. Perkataan dan perbuatan mereka mencerminkan kecintaan, pengagungan, dan keimanan terhadap al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya mari simak perkataan Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut ini.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah ma’dubah (jamuan)-Nya Allah, maka pelajarilah (nikmatilah) jamuan-Nya semampu kalian. Al-Qur’an ini adalah tali Allah yang Dia perintahkan untuk -berpegang- dengannya. Ia adalah cahaya Allah yang terang, obat penawar yang sangat bermanfaat, serta pelindung bagi yang berlindung dengannya.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah menjamin orang yang membaca al-Qur’an tidak akan sesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat. Lalu beliau membaca firman Allah, “famanittaba’a hudaya fala yadhillu wala yasyqa. . . . (lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.)“(QS. Thaha:123). (Mustadrak, Imam Hakim, 2/413, no.3438). Yang dimaksud dengan membaca adalah mengikuti petunjuknya sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut.
Saat ini kita sangat butuh untuk membina hati-hati kita untuk mencintai dan mengagungkan al-Qur’an. Karena sikap pengagungan, kecintaan yang tulus, dan keimanan terhadap al-Qur’an telah berkurang pada sebagian kalangan. Hal ini menyebabkan lemahnya interaksi kita dengan al-Qur’an. Solusinya adalah menanamkaan pengagungan dan kecintaan terhadap al-Qur’an dalam hati-hati kita dan membangun kesadaran tentang perlunya merealisasikan tujuan diturunkannya al-Qur’an.

2. Belajar dan Mengajarkan Iman Sebelum Al-Qur’an
Maksudnya, terlebih dahulu menanamkan dalam hati-hati mereka pengagungan kepada Allah, serta pengagungan terhadap perintah dan larangan-Nya. Sehingga mudah bagi mereka menerima dan merespon hukum-hukum syariat. Ini merupakan aspek paling uatama dalam menghidupkan tarbiyah Qur’aniyah dalam jiwa setiap orang.
Manhaj inilah yang diterapkan al-Qur’an sendiri dalam membina para sahabat di awal-awal Islam. Dimana ayat-ayat al-Qur’an yang pertama-tama turun dalam ayat-ayat Makkiyah menanamkan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sehingga tumbuh dalam hati mereka iman yang shahih, pengagungan terhadap al-Qur’an. Pada puncaknya hal itu mengondisikan jiwa mereka untuk menerima taujihat (arahan-arahan) al-Qur’an secepatnya.
Salah seorang sahabat nabi yang merupakan salah satu murid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jundub ibn ‘Abdillah mengatakan, “kami bersama nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam, saat kami pemuda, kami belajar iman sebelum al-Qur’an. Lalu kami belajar al-Qur’an, sehingga iman kami bertambah. (Sunan Ibnu Majah, 1/74, no.64, dan Imam Tarikh al-Kabir, 2/221, Sunanul Kubro , 2/49, no. 5498, Mu’jam al-Kabir, 2/225 no. 1656, dan dishahihkan oleh Syekh al-Bani dalam Shahih Sunan Ibn Majah, 1/16, no.52)
Seperti itulah nabi memulai dengan menamkan keimanan dalam hati-hati mereka. Sehingga ketika iman telah merasuk dalam hati, mereka telah siap untuk menerima al-Qur’an, siap diarahkan dan dibimbing oleh al-Qur’an. Maka pada puncaknya, iman mereka makin bertambah.sehingga mudah menerima pesan-pesan dan arahan-arahan al-Qur’an.

3. Memposisikan al-Qur’an Sebagai Surat ”Risalah” dari Allah
Para salaf rahimahumullah menempatkan al-Qur’an sebagai surat dari Allah yang ditujukan kepada mereka untuk diamalkan. Oleh karena itu mereka selalu membaca dan mengamalkannya siang dan malam. Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian memandang al-Qur’an sebagai surat dari Tuhan mereka, oleh karena itu mereka mentadaburinya pada malam hari dan mengamalkannya pada siang hari”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa, “Diantara kami -ada- yang mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an, ia tidak melewati ayat-ayat tersebut hingga ia mengetahui maknanya dan mengamalkannya”. Artinya ia tidak berpindah ke ayat berikutnya, sebelum memahami makna kesepuluh ayat tersebut dan mengamalkan kandungannya. Ibnu Mas’ud juga berkata, “Seorang pengemban al-Qur’an hendaknya dikenali (dengan shalatnya) pada waktu malamnya saat orang-orang sedang tidur, (dengan puasanya) pada siang hari saat orang-orang sedang makan, dengan sedihnya saat orang-orang bergembira ria, dengan tangisannya saat orang tertawa, dengan diamnya saat orang-orang berbicara dan dengan khusyu’nya saat orang-orang angkuh.”

Manhaj inilah yang telah berhasil menelorkan generasi awal Islam. Andaikan kita ber-talaqqi al-Qur’an seperti generasi awal mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita jadikan sebagi metode dalam membina generasi muda Islam hari ini, maka kita akan meyaksikan pengaruh dan warna al-Qur’an pada jiwa dan perilaku kaum Muslimin.

4. Membaca al-Qur’an dengan Tartil dan Perlahan-lahan Serta Membacanya dalam Shalat Malam.
Hal ini nampak dalam kehidupan para salaf, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, ”Aku pernah safar bersama ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Makkah ke Madinah. Beliau melakukan qiyamullail dengan membaca al-Qur’an huruf demi huruf.kemudian beliau menangis hingga terdengar isak tangis beliau” (Mukhtashar Qiyamul Lail, hlm.131).

Beliau juga mengingatkan agar kita janganlah membaca al-Qur’an dengan cepat, “janganlah kalian membaca al-Qur’an dengan cepat seperti membaca sya’ir dan prosa. Berhentilah sejenak pada keajaiban-keajaibannya, gerakkan hati dengan ‘ajaib-ajaib tersebut. Janganlah yang menjadi target kamu (sampai) pada akhir surat”, tegasnya.

Membaca dengan tartil dan perlahan-lahan yang disertai tadabbur (perenungan) lebih merasuk ke dalam jiwa. Apatah lagi jika dilakukan dalam shalat atau diwaktu malam, sebagaimana dikatakan oleh Syekh asy-Syinqithiy rahimahullah, “Tidak ada yang dapat meneguhkan al-Qur’an dalam dada, serta memudahkan menghafal dan memahaminya, kecuali dengan membacanya dalam shalat di tengah malam (Muqaddimah Adhwaul Bayan, 1 /4).

Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk membaca al-Qur’an secara tartil dalam shalat malam. Karena menurut Ibnu Abbas hal itu lebih memudahkan untuk memahami al-Qur’an (ajdaru an yafqaha al-Qur’an).

Singkatnya, al-Qur’an merupakan sumber inspirasi dan energi kehidupan para salaf. Mereka mementingkannya melebihi kepentingan mereka terhadap makanan dan minuman. Sebab mereka sadar, bahwa kehidupan yang hakiki danya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk al-Qur’an. Oleh karena itu, jika ingin menikmati lezatnya al-Qur’an mari mengikuti manhaj dan metode mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Ja’alanallahu waiyyakum min ashabil Qur’an. Wallahu a’lam bis Shawab.


(diadaptasi dari “Manhajus Salaf fi Talaqqil Qur’an wa Tadabburihi” dalam bab “Tsalatsuna Majlisan fit Tadabbur; Majalis Imaaniyah wa ‘Ilmiyyah”, hlm.43-50). [syam]