Diantara hal yang disyariatkan ketika shalat adalah
sutrah atau pembatas yang mana hal ini telah banyak dari kaum muslimin
yang telah melupakannya padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
telah bersabda :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ
فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ : رواه ابن ماجه
"Jika shalat salah seorang diantara kalian, hendaklah shalat menghadap
sutrah dan hendaklah mendekat padanya dan jangan biarkan seorangpun
lewat antara dia dengan sutrah. Jika ada seseorang lewat di depannya
maka perangilah karena dia adalah syaithan" (HHR. Ibnu Majah)
Mengomentari
hadits diatas Imam As Syaukani رحمه الله berkata :"Padanya
(menunjukkan) bahwa memasang sutrah adalah wajib" (Lihat Nailul Authar
3/2)
Diantara perkara yang menguatkan wajibnya adalah sesungguhnya sutrah
merupakan sebab syar'i yang menyebabkan tidak batalnya shalat karena
lewatnya wanita yang baligh, keledai dan anjing hitam sebagaimana yang
telah sah yang demikian itu dalam hadits yang menyatakan larangan orang
lewat di depan orang yang shalat dan hukum-hukum lainnya yang berkaitan
dengan sutrah.
Oleh karena itu para salafus shalih bersemangat memasang sutrah ketika
shalat. Disamping itu telah sampai pula berturut-turut perkataan,
perbuatan, anjuran dan perintah mereka untuk menggunakannya serta
pengingkaran terhadap orang yang tidak menghadap sutrah ketika shalat.
Berkata Qurrah bin Iyas رحمه الله :"Umar melihatku sedangkan aku ketika
itu sedang shalat diantara dua tiang, maka ia memegang tengkukku dan
mendekatkanku ke sutrah seraya berkata "Shalatlah menghadap kepadanya"
(R. Bukhari secara mu'allaq)
Berkata Al-Allamah As-Safarini رحمه الله: "Ketahuilah, sesungguhnya
dimustahab kan (disunnahkan) shalatnya seseorang menghadap sutrah secara
ittifaq (sepakat) sekalipun tidak dikhawatirkan adanya orang yang
lewat". Berbeda dengan Imam Malik رحمه الله, dimana menyebutkan dalam
"Al-Wadhih" tentang wajibnya bersutrah dengan tembok atau sesuatu yang
menonjol dan berwujud dan pendapat ini pula yang disenangi oleh Imam
Ahmad (Lihat Syarhu Tsulatsiyatil Musnad 2:786)
Pemutlakan ini adalah yang lebih benar -Insya Allah- karena alasan
disunnahkannya memasang sutrah dengan disebabkan adanya kekhawatiran
orang yang lewat hanyalah alasan ra'yu (akal) belaka, tidak ada dalil
atasnya.
Berkata Ibnu Khuzaimah رحمه الله setelah menyebutkan sebagian hadits
yang berisi perintah memasang sutrah : "Khabar atau riwayat ini
seluruhnya shahih. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah
memerintahkan seseorang shalat agar memasang batas atau sutrah dalam
shalatnya. Abdul Karim telah mengaku dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau Shallallahu
'alaihi wa Sallam shalat tidak menghadap sutrah yakni ketika beliau
berada di padang yang luas karena disana tidak ada satupun bangunan yang
bisa dijadikan pembatas dengannya. (Hadits ini dhaif sebagaimana
diperingatkan Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal. 305 dan beliau
berkata hadits ini telah dicantumkan dalam Al-Ahadits Adh-Dhaifah No.
5814 bersama hadits lain yang semakna). Padahal beliau telah mencela
orang yang melakukan shalat bila tidak menghadap sutrah, maka bagaimana
mungkin beliau mengerjakan perkara yang beliau sendiri mencelanya"
(Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah 2:27-28).
Dari uraian di atas jelaslah bagi kita kesalahan orang yang melakukan
shalat dengan tidak memasang sutrah di depannya sekalipun aman dari
lewatnya manusia atau ketika di padang luas, juga tidak ada perbedaan
antara Mekkah dan tempat lainnya tentang hukum yang berkaitan dengan
sutrah secara mutlak.
Sebagian ahlul ilmi menganggapnya mustahab bagi orang yang shalat agar
memasang sutrah agak ke kanan sedikit atau ke kiri sedikit dan tidak
menghadap lurus didepannya, padahal tidak ada dalil yang shalih yang
membenarkan perbuatan ini. (Lihat Ahkamus Sutrah hal. 46-48)
Ukuran sutrah
Ukuran sutrah yang sah yang dengannya dapat membatasi seseorang yang
shalat dan dapat menolak orang yang lewat antara dia dengan sutrah
adalah sepanjang bagian belakang pelana kendaraan tunggangan, dan tidak
diperbolehkan seseorang yang shalat mencukupkan diri menggunakan sutrah
kurang dari ukuran tersebut ketika dalam kelonggaran.
Dari Thalhah Radhiyallahu 'anhu dia berkata bahwasanya telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ : رواه مسلم
"Jika salah seorang diantara kalian meletakkan seperti bagian belakang
pelana kendaraan tunggangan hendaklah shalat menghadapnya dan jangan
pedulikan orang yang lewat di belakangnya" (HR. Muslim).
Pelana yang dimaksudkan itu panjangnya satu hasta sebagaimana yang
dijelaskan oleh Atha, Qatadah, At-Tsauri dan Nafi رحمهم الله (Lihat
Mushannaf Abdur Razzaq 2:9,14,15/ Shahih Ibnu Khuzaimah hal.807 dan
Sunan Abu Daud hal.686). Satu hasta itu ukurannya antara ujung siku-siku
sampai ujung jari yang tengah (Lihat Lisanul Arab 3:1495). Diperkirakan
sekitar 46,2 cm (Lihat Mu'jam Lughatil Fuqaha:450,451). Dalam Subulus
Salam 1:295 Imam Ash-Shan'ani رحمه الله mengatakan 2/3 hasta.
Telah jelas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwasanya beliau
Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah shalat menghadap batu, tombak dan
semisalnya, dan sudah maklum bahwa keduanya bentuknya kecil. Inilah yang
menguatkan bahwa yang dimaksud dengan sutrah satu hasta adalah
panjangnya dan bukan lebarnya.
Berkata Ibnu Khuzaimah رحمه الله :"Dalil dari Riwayat Nabi Shallallahu
'alaihi wa Sallam bahwa beliau memaksudkan sutrah itu seperti bagian
belakang pelana kendaraan tunggangan adalah ukuran panjangnya dan bukan
lebarnya merupakan perkara yang telah tsabit atau tetap. Diantaranya
ialah khabar ketika ditancapkan tombak untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam,, lalu beliau shalat menghadapnya, sedangkan lebarnya tombak
tidaklah seperti lebarnya bagian belakang pelana kendaraan tunggangan"
(Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah 2:12). Berarti yang dimaksud adalah
panjangnya dan bukan lebarnya.
Atas dasar ini tidak diperbolehkan menjadikan garis sebagai sutrah
selama ada kemampuan mengambil yang lainnya sekalipun hanya berbentuk
tongkat, kayu atau tanah, bahkan sekalipun hanya menumpuk batu seperti
yang dilakukan Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu 'anhu. Adapun hadits:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ
لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا :
رواه ابن ماجه
"Apabila salah seorang dari kalian shalat maka jadikanlah dihadapannya
sesuatu, kalau tidak dapat maka letakkanlah sebuah batu, kalau tidak
dapat maka buatlah sebuah garis" (HR. Ibnu Majah)
adalah hadits dhaif (lemah). Kedhaifannya itu diisyaratkan oleh Sufyan
bin 'Uyainah, Syafi'i, Al-Baghawi dan lainnya. Daruqutni رحمه الله
berkata "Hadits ini tidak shahih dan tidak tsabit".
Berkata Imam Syafi'i رحمه الله dalam "Sunan Harmalah": "Tidak boleh
orang yang shalat menggaris di depannya satu garis pun kecuali yang
demikian itu tercantum dalam hadits yang tsabit sehingga bisa diikuti".
Berkata Imam Malik رحمه الله didalam "Al-Mudawwanah": "Sutrah dengan garis itu bathil".
Ulama-ulama mutaakhiriin telah mendhaifkannya pula seperti Ibnu Shalah, Imam An-Nawawi, Al-Iraqi, Al Albani dan yang lainnya.
Sutrah Bagi Makmum
Sesungguhnya tidak diwajibkan sutrah bagi makmum karena sutrah dalam
shalat menjadi tanggung jawab imam dan jangan disangka bahwa tiap-tiap
orang sutrahnya adalah orang yang shalat di depannya karena demikian ini
tidak terjadi pada shaf pertama lalu mengharuskan pula mencegah
orang-orang yang lewat diantara shaf-shaf itu. Dalil yang menyelisihi
hal ini adalah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ia berkata :
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ
الاِحْتِلاَمَ وَرَسُولُ اللهِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى فَمَرَرْتُ
بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ اَلأَتَانَ تَرْتَعُ
وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ : رواه
مسلم
"Saya datang dengan mengendarai keledai dan saat itu saya sudah ihtilam
(baligh) dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sedang
melaksanakan shalat bersama orang-orang di Mina. Maka saya melewati
bagian depan shaf, kemudian saya turun, kemudian saya membiarkan keledai
makan rumput dan saya masuk ke dalam shaf dan tidak ada seorang pun
yang mengingkari perbuatanku tersebut" (HR. Muslim)
Ibnu Abbas mengendarai keledai betina di depan shaf pertama dan tidak
seorangpun dari shahabat yang menahannya. Tidak ada shahabat yang
mengingkari hal tersebut dan tidak pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa Sallam, seandainya ada orang yang mengatakan mungkin saja Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak mengetahui hal tersebut, maka kita
katakan bahwa kalau seandainya saja beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam
dapat melihat orang yang berada di belakang beliau ketika sedang
shalat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
فَوَاللهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوعُكُمْ وَلاَ رُكُوعُكُمْ إِنِّي َلأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي : رواه البخاري
"Demi Allah tidak tersembunyi bagiku kekhusyu'an kalian dan tidak pula
ruku' kalian, sesungguhnya aku benar-benar akan melihat kalian dari
belakang punggungku" (HR. Bukhari). Apatah lagi orang yang datang dari
arah samping beliau.
Berkata Ibnu Abdil Barr : "Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini
menjadi pengkhususan hadits Abu Sa'id (yang artinya): "Jika salah
seorang dari kalian shalat jangan biarkan seorang pun lewat didepannya"
karena hadits ini khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Sedangkan tidak ada yang memudharatkan makmum siapapun orang yang lewat
di depannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini. Ini
semua tidak ada perselisihan diantara para ulama" (Lihat Fathul Bari
1:572)
Dengan ini diketahui sesungguhnya shalat berjamaah itu adalah shalat
satu yang terbilang dan bukan shalat sejumlah bilangan orang yang
melakukannya, oleh karena itu cukup satu sutrah. Seandainya itu
merupakan shalat-shalat (sendiri sejumlah bilangan orang yang
melakukannya) niscaya tiap orang yang melakukan shalat membutuhkan
sutrah (Lihat Faidhlul Bari 2:77). Jika imam tidak memasang sutrah
sungguh ia telah berbuat jelek dan itu adalah kekurangan darinya dan
tidak wajib bagi tiap-tiap makmum memasang sutrah sendiri-sendiri dan
hendaknya mencegah orang yang lewat di depannya (Lihat Ahkamus Sutrah
hal. 21-22)
Permasalahan : Jika makmum masbuq berdiri setelah salamnya imam untuk
menyelesaikan apa-apa yang terluput bersama imam maka keluarlah keadaan
ia sebagai makmum, lalu apa yang harus dia lakukan ?
Bekata Imam Malik رحمه الله :"Dan tidak mengapa bergeser setelah
salamnya imam ke suatu yang dekat dengannya dari tiang-tiang yang berada
di depannya, kesamping kanan, kiri atau belakangnya dengan mundur
sedikit, bersutrah dengannya jika dekat dan jika jauh maka ia tetap
berdiri di tempatnya dan bersungguh-sungguh menahan orang yang
melewatinya".(Lihat Syarhu Zarqani 'Ala Mukhtashar Khalil 1:208)
Berkata Ibnu Rusyd رحمه الله:"Seandainya seseorang berdiri menyelesaikan
apa-apa yang tertinggal dari shalatnya, dan ada tiang di dekatnya maka
hendaknya ia berjalan ke sana dan menjadikannya sutrah baginya pada
sisa shalatnya, jika tidak ada tiang di dekatnya maka dia shalat
sebagaimana pada tempatnya semula dan menahan orang yang lewat di
depannya itu semampu mungkin, dan orang yang lewat tersebut berdosa.
Adapun orang yang lewat diantara shaf-shaf, jika sekelompok kaum shalat
bersama imam mereka maka tidak berdosa atasnya karena imam menjadi
sutrah bagi mereka. Wabillahi Taufiq" (Lihat Fatawa Ibnu Rusyd 2/904).
-Abu Ahmad Fudhail-
(Al Fikrah Tahun 2 Edisi 22)-Abu Ahmad Fudhail-