Dalam hidup ini, setiap orang tentu ingin mendapatkan kenikmatan
dunia. Tak ada salahnya manusia menginginkan hal tersebut. Itu
manusiawi.
Namun, kenikmatan dunia saja belumlah sempurna. Yang kita butuhkan
sebenarnya adalah kenikmatan hakiki, yakni kenikmatan yang bisa
menghantarkan kita pada keselamatan dunia dan akhirat.
Kenikmatan dunia bisa membuat manusia bergantung kepada mahluk. Padahal, manusia akan segera meninggalkan dunia yang fana ini.
Kenikmatan dunia bisa membuat manusia bergantung kepada mahluk. Padahal, manusia akan segera meninggalkan dunia yang fana ini.
Kenikmatan hakiki bukan terletak pada kenikmatan dunia. Kenikmatan
hakiki akan kita raih manakala kita mencanangkan hidup semata untuk
mencari ridha Allah SWT. Caranya, menaati apa yang menjadi perintah
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Firman Allah SWT,Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati
syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya. (An Nisa’ [4]: 69)
Khabar Shadiq
Di era modern sekarang ini, dorongan untuk mengejar kenikmatan duniawi semakin membara karena ilmu pengetahuan kian berkembang.
Bila dahulu kehidupan manusia terjerembab dalam mitos, kini manusia mulai menuhankan teknologi dengan kekuatan rasionya.
Namun, betapa pun canggihnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masih
banyak pertanyaan besar yang tak bisa dijawab manusia. Misalnya, ke
manakah kehidupan manusia setelah mati?
Secara empiris, manusia tidak bisa menjangkau jawaban atas pertanyaan
ini. Karena tidak ada orang yang telah mati bisa menyampaikan
pengalamannya di alam kubur kepada yang masih hidup.
Nalar dan rasio mungkin saja bisa berandai-andai. Ilmu pengetahuan juga bisa memberikan berbagai prediksi. Namun, hal itu tak akan bisa mencapai tingkat keyakinan yang hakiki.
Nalar dan rasio mungkin saja bisa berandai-andai. Ilmu pengetahuan juga bisa memberikan berbagai prediksi. Namun, hal itu tak akan bisa mencapai tingkat keyakinan yang hakiki.
Banyak ilmuwan yang justru ragu dengan hari berbangkit. Bahkan mereka juga tak percaya Tuhan dan menganggap agama tidak ilmiah.
Jika orang bernalar kuat saja bisa bimbang seperti itu, bagaimana
dengan orang kebanyakan yang memahami kehidupan ini seadanya saja?
Bila mereka hidup tanpa iman, mereka bisa tertipu dan tersesat.
Seolah-olah dunia ini tujuan akhir, padahal maut bisa menjemput kapan
saja, bahkan ketika seseorang sedang berada pada puncak kejayaannya.
Mereka harus meninggalkan dunia ini tanpa membawa apa pun.
Ada pula manusia yang senantiasa dirundung berbagai cobaan, lalu
mereka putus asa. Mereka merasa seolah tak ada lagi harapan. Itulah juga
akibat tiadanya iman pada diri seseorang.
Orang beriman dapat menjalani hidup dengan mantap dalam kondisi apa
pun. Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjangkau nalar tak lagi menjadi
hal yang menyulitkan buat mereka. Sebab, bagi orang beriman, nalar saja
tak cukup untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang hidup.
Mereka perlu khabar shadiq yang disampaikan para Rasul, yaitu khabar
dari orang-orang terpilih dan terpercaya yang telah diutus Allah SWT.
Mereka mengimani khabar tersebut tanpa keraguan sedikitpun. Mereka juga
mengimani kejujuran para Rasul tersebut.
Rasulullah Muhammad SAW sendiri, sebelum menjadi Rasul, telah dikenal
sebagai al-amin, yakni orang yang terpercaya. Inilah yang menjadi sifat
setiap Rasul yang akan menyampaikan berita dari Tuhan.
Iman kepada Rasul telah menjawab berbagai kebimbangan hidup. Mereka
tidak menjadikan dunia ini sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai ladang
menanam amal kebaikan.
Meski kadang mereka belum menikmati panen di dunia ini, mereka tidak
putus harapan. Sebab pembalasan yang setimpal dan berlipat ganda akan
diterima di akhirat kelak. Mereka tidak khawatir dan tidak pula bersedih
hati.
Firman Allah SWT,”Dan tidaklah Kami mengutus para Rasul itu melainkan
untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa
yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Al An’am [6]: 48)
Karena itu orang yang beriman akan senantiasa membenarkan ajaran dan
berita yang dibawa para Rasul. Abu Bakar adalah contoh seorang yang
sangat kuat imannya kepada Rasulullah SAW.
Saat berita isra’ mikraj membuat banyak orang berpaling dan tidak
percaya karena dianggap tidak masuk akal, Abu Bakar tetap teguh dalam
keimanan untuk membenarkannya.
Dia yakin Allah SWT Maha Kuasa dan Rasulullah Muhammad SAW mustahil berdusta. Inilah model sejati dari orang yang bertakwa.
Firman Allah SWT,”Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Az Zumar [39]:
33)
Teladan
Secara fitrah, kesadaran ber-Tuhan telah ada dalam diri manusia.
Kerena itulah, kepercayaan dan keyakinan adanya Tuhan selalu ada dalam
setiap zaman meski kadarnya pasang surut.
Para pemikir dan filosof ada yang tak percaya Tuhan, tetapi banyak
juga yang meyakini-Nya. Alam yang sangat teratur dan terpelihara ini
sudah menunjukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa.
Tentu saja untuk mengenal Tuhan, tidak cukup hanya mengandalkan kesadaran ber-Tuhan. Manusia hanya bisa mengenal Tuhan dengan benar jika Tuhan berkenan mengenalkan diri dan berfirman untuk menjelaskan siapa diri-Nya. Para Rasul itulah yang dipilih untuk mengenalkan Tuhan dan mengajak manusia menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Tentu saja untuk mengenal Tuhan, tidak cukup hanya mengandalkan kesadaran ber-Tuhan. Manusia hanya bisa mengenal Tuhan dengan benar jika Tuhan berkenan mengenalkan diri dan berfirman untuk menjelaskan siapa diri-Nya. Para Rasul itulah yang dipilih untuk mengenalkan Tuhan dan mengajak manusia menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Dorongan beramal kebaikan juga telah dimiliki oleh manusia. Karena
itulah kebaikan dalam al-Qur`an disebut ma’ruf, artinya sesuatu yang
telah dikenal. Tapi bagaimana kebaikan itu dilakukan, manusia masih
butuh petunjuk pelaksanaan.
Seorang yang sadar bahwa ada Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa, akan
terdorong memuja dan menyembah kepada Tuhannya.Namun bagaimana cara
menyembah, manusia butuh bimbingan.
Lagi-lagi para Rasul itulah yang memberikan contoh dan teladan bagaimana melakukan berbagai amal kebaikan yang diridhai Allah SWT. Bagaimana cara beribadah kepada Allah SWT, harus seperti yang difirmankan Tuhan. Bukan semaunya sendiri.
Lagi-lagi para Rasul itulah yang memberikan contoh dan teladan bagaimana melakukan berbagai amal kebaikan yang diridhai Allah SWT. Bagaimana cara beribadah kepada Allah SWT, harus seperti yang difirmankan Tuhan. Bukan semaunya sendiri.
Bila kita meneladani Rasul dalam beribadah, kita akan diridhai Allah
SWT. Tanpa mengikuti bimbingan dan teladan Rasul, seseorang bisa
membuat-buat cara yang justru tidak diridhai Allah SWT. Maunya berbakti
supaya diterima, tetapi malah tertolak.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang mengada-adakan perkara baru
dalam urusan kami, yang tak ada pedomannya, maka ia tertolak.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Sudah jelas bahwa para Rasul adalah manusia pilihan yang mesti
dicontoh dan diidolakan. Pada kenyataannya banyak orang yang lebih
terpesona dan mengidolakan tokoh-tokoh lainnya. Apalagi mereka yang
cinta dunia dan melupakan akhirat. Mereka kerap mengidolakan
konglomerat, artis, selebritis, pejabat, atau orang tenar lainnya.
Mereka pun tergila-gila, selalu mengagumi dan mengikuti gaya hidup
idolanya. Mulai model pakaian, dandanan rambut, gaya bicara, selalu
ditiru. Mungkin mereka anggap mengidolakan dan mengikuti Rasul
membuatnya tertinggal zaman.
Bagi orang beriman, Rasul teladan utama, idola dalam hidupnya. Dalam
diri Rasul banyak sekali teladan yang musti diikuti. Itulah sunnah
Rasul. Dengan menghidupkan sunnah beliau kita akan manapaki jalan
bahagia yang penuh berkah di dunia dan di akhirat kelak.
Sungguh, pada diri Rasulullah kamu dapatkan suri teladan yang indah
bagi orang yang mengharap (rahmat Allah), dan (keselamatan) hari
terakhir, serta banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab [33]: 21)
Wallahu a’lam bish Shawab.
Wallahu a’lam bish Shawab.