Selama PD II, torpedo manusia oleh AL Jepang disebut Kaiten. Pernah dioperasikan dan menjadi ajang bunuh diri bagi prajurit berusia remaja.
Dimulainya Operasi Trikora untuk membebaskan Irian
Barat pada tahun 1961 menggerakkan semua lini Angkatan Bersenjara RI.
Dalam operasi ini, tugas Pasukan Katak (Paska) AL yang dibentuk pada 31
Maret 1962 dan dikomandani Letkol OP Koesno adalah menyusup ke wilayah
lawan untuk melancarkan serangan sabotase
Namun, ada salah satu tugas Paska yang dikomandani Kepala Stafnya, Mayor Urip Santoso, yang cukup unik. Terkisah, Paska dengan pimpinan Mayor Urip ditempatkan di Teluk Peleng untuk menanti perkembangan.
Suatu hari, Mayor Urip mendapat tambahan anak buah berupa dua peleton sukarelawan sipil beserta lima human torpedo (torpedo manusia) untuk misi bunuh diri. Selama Perang Dunia II, torpedo manusia oleh AL Jepang disebut Kaiten. Pernah dioperasikan dan menjadi ajang bunuh diri bagi prajurit berusia remaja.
Sebelum dioperasikan, program latihan Kaiten telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 15 orang. Dalam operasinya, Kaiten bisa diluncurkan dari kapal selam atau kapal penjelajah ringan. Mayor Urip merasa heran dengan manusia terpedo ini karena belum mendapat taklimat sebelumnya.
Ia hanya tahu soal Proyek Y yaitu torpedo biasa yang diisi 100 kilogram TNT. Untuk pemicu ledakan, torpedo dilengkapi mekanisme detonasi yang secara otomatis akan meledak waktu bertabrakan dengan dinding kapal.
Dari mekanisme kerjanya, ujung torpedo diangkut menggunakan sebuah speedboat kecil yang dikemudikan oleh seorang sukarelawan yang mengarahkan dan membenturkan ujung topredo kepada kapal musuh. Sesaat sebelum speedboat beserta torpedo membentur kapal musuh, pengemudi akan melompat menggunakan kursi lontar. Persis mirip kursi lontar pesawat jet tempur.
Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk, Mayor Urip lebih dulu mencoba hal ini pada speedboat dan sukarelawannya. Ternyata kekuatan mesin tempel pada speedboat itu tidak sesuai yang disampaikan. Para sukarelawan juga belum mencobanya di lautan lepas. Apalagi kursi lontar yang katanya terpasang, ternyata tidak ada. Sehingga pelaku harus melompat sendiri sebelum torpedo meledak.
Namun, yang membuat Mayor Urip makin geleng-geleng kepala adalah mekanisme detonasi yang tidak berfungsi sama sekali. Ketika hasil ini dilaporkan pada Panglima ATA-17, Komodor Sudomo ternyata tidak keluar komentar apa pun. Yang pasti, Mayour Urip lega karena jika operasi jadi digelar dan torpedo-torpedo manusia itu digunakan, bisa dipastikan tidak ada satu pun sukarelawan yang selamat.
(Zika Zakiya. National geographic Indonesia)
Namun, ada salah satu tugas Paska yang dikomandani Kepala Stafnya, Mayor Urip Santoso, yang cukup unik. Terkisah, Paska dengan pimpinan Mayor Urip ditempatkan di Teluk Peleng untuk menanti perkembangan.
Suatu hari, Mayor Urip mendapat tambahan anak buah berupa dua peleton sukarelawan sipil beserta lima human torpedo (torpedo manusia) untuk misi bunuh diri. Selama Perang Dunia II, torpedo manusia oleh AL Jepang disebut Kaiten. Pernah dioperasikan dan menjadi ajang bunuh diri bagi prajurit berusia remaja.
Sebelum dioperasikan, program latihan Kaiten telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 15 orang. Dalam operasinya, Kaiten bisa diluncurkan dari kapal selam atau kapal penjelajah ringan. Mayor Urip merasa heran dengan manusia terpedo ini karena belum mendapat taklimat sebelumnya.
Ia hanya tahu soal Proyek Y yaitu torpedo biasa yang diisi 100 kilogram TNT. Untuk pemicu ledakan, torpedo dilengkapi mekanisme detonasi yang secara otomatis akan meledak waktu bertabrakan dengan dinding kapal.
Dari mekanisme kerjanya, ujung torpedo diangkut menggunakan sebuah speedboat kecil yang dikemudikan oleh seorang sukarelawan yang mengarahkan dan membenturkan ujung topredo kepada kapal musuh. Sesaat sebelum speedboat beserta torpedo membentur kapal musuh, pengemudi akan melompat menggunakan kursi lontar. Persis mirip kursi lontar pesawat jet tempur.
Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk, Mayor Urip lebih dulu mencoba hal ini pada speedboat dan sukarelawannya. Ternyata kekuatan mesin tempel pada speedboat itu tidak sesuai yang disampaikan. Para sukarelawan juga belum mencobanya di lautan lepas. Apalagi kursi lontar yang katanya terpasang, ternyata tidak ada. Sehingga pelaku harus melompat sendiri sebelum torpedo meledak.
Namun, yang membuat Mayor Urip makin geleng-geleng kepala adalah mekanisme detonasi yang tidak berfungsi sama sekali. Ketika hasil ini dilaporkan pada Panglima ATA-17, Komodor Sudomo ternyata tidak keluar komentar apa pun. Yang pasti, Mayour Urip lega karena jika operasi jadi digelar dan torpedo-torpedo manusia itu digunakan, bisa dipastikan tidak ada satu pun sukarelawan yang selamat.
(Zika Zakiya. National geographic Indonesia)