Sesungguhnya bulan Allah
Muharram merupakan bulan yang agung lagi penuh berkah, Muharram adalah
awal bulan pada tahun hijriyah dan termasuk salah satu dari bulan -
bulan haram, sebagaimana firman Allah I yang artinya :
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di-antaranya empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At Taubah :36)
Adapun maksud dari firman Allah I “Janganlah kamu menganiaya diri kamu” yakni,
pada bulan-bulan haram karena kesalahan atau dosa yang dikerjakan waktu
itu lebih besar dibandingkan dengan kesalahan atau dosa yang dikerjakan
pada bulan-bulan selainnya. Berkata Qatadah رحمه الله : “Sesungguhnya
kezholiman yang dikerjakan pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya
dibandingkan jika dikerjakan di luar bulan-bulan haram, walaupun
sebenarnya kezho-liman di dalam segala hal dan keadaan meru-pakan dosa
besar akan tetapi Allah I senan-tiasa mengagungkan dan memuliakan bebera-pa perkara/ urusan menurut kehendakNya”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat At Taubah: 36).
Diriwayatkan dari Abu Bakrah t, Nabi r bersabda :
)...السَّــنَةُ
اثْــنَا عَشَرَ شَـهْرًا مِنْـهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَــاتٌ ذُو الْـقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَـيْنَ جُمَادَى وَشَعْـبَانَ( رواه البخاري
“…Setahun
terdiri dari dua belas bulan di da-lamnya terdapat empat bulan haram,
tiga dianta-ranya berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan keempat adalah Rajab yang diantarai oleh Jumadil (awal dan tsani) dan Sya’ban” (HR. Bukhari)
Dinamakan Muharram karena tergolong bulan haram dan sebagai penekanan akan ke-haramannya.
Keutamaan Memperbanyak Puasa Sun-nah Pada Bulan Muharram :
Dari Abu Hurairah RA ia telah berkata, Rasulullah SAW bersabda :
)أَفْضَلُ الصّـِيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ ( رواه مسلم
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram” (HR. Muslim).
Lafadz "شهر الله"
(Bulan Allah), penyandaran “Bulan” kepada “Allah” dimaksudkan sebagai
bentuk pengagungan-Nya kepada bulan terse-but. Imam Alqari رحمه الله berkata: “Nampak-nya maksud dari hadits tersebut adalah ber-puasa pada seluruh bulan Muharram”.
Akan tetapi telah diriwayatkan, bahwasa-nya Nabi r
tidaklah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan saja, jadi
hadits ini hanya menunjukkan keutamaan memper-banyak puasa pada bulan
Muharram, bukan berpuasa dengan sebulan penuh.
Dan telah diriwayatkan juga bahwa Nabi SAW
senantiasa memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin
dikarenakan belum turunnya wahyu kepada beliau yang menjelaskan tentang
keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayatnya sebe-lum beliau
sempat berpuasa pada bulan tersebut. (Lihat Syarh Shohih Muslim oleh An
Nawawi)
Sejarah ‘Asyura :
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ r الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ : )مَا هَذَا ؟( قَالُوا : "هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى" قَالَ ) فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْـكُمْ( فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ رواه البخاري
“Setelah Nabi SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, beliau bekata: “apakah ini?”,
mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik dimana Allah menyelamatkan
bani Israil dari musuh-musuhnya hingga Musa berpuasa pada hari itu”,
selanjut-nya beliau berkata: “Saya lebih berhak atas Musa dari kalian”, maka beliau berpuasa dan memerin-tahkan shahabatnya untuk berpuasa pada hari itu (HR. Bukhari).
Sebenarnya puasa ‘Asyura telah dikenal pada zaman jahiliyah sebelum datangnya zaman nubuwwah, dari Aisyah رضي الله عنها ia telah berkata:
) أَنَّ قُرَيــْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ( رواه البخاري
“Sesungguhnya orang-orang jahiliyah juga ber-puasa pada hari itu…”. (HR. Bukhari)
Imam Qurthubi رحمه الله berkata: “Mungkin orang-orang Quraisy waktu itu masih berpegang dengan syariat sebelumnya seperti syariat Nabi Ibrahim u, dan juga telah diriwayatkan bahwa Nabi r
berpuasa ‘Asyura di Makkah sebelum hijrah ke Madinah dan setibanya di
Madinah beliau kemudian menemukan orang-orang Yahudi merayakan hari itu,
maka Nabi menanyakan hal tersebut dan mereka berkata sebagaimana telah
disebutkan di dalam hadits yang lalu, lalu beliau memerintahkan
sahabatnya untuk me-nyelisihi kebiasaan mereka yang menjadikan ‘Asyura
sebagai hari raya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Musa t :
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَ تَـتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r ) صُومُوهُ أَنْـتُمْ ( رواه مسلم
“‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menganggapnya sebagai hari raya” Maka Nabi r bersabda: “Berpuasalah kalian pada hari itu” (HR. Muslim).
Keutamaan Puasa ‘Asyura :
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
) مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ r
يَـتَحَرَّى صِيَامَ يـَوْمٍ فَضَّــلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا
الْيـَـوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّـهْرَ يَعْنِي شَـهْرَ
رَمَضَانَ( رواه البخاري
“Saya tidak melihat Nabi r
memperhatikan satu hari untuk berpuasa yang beliau utamakan dari
selainnya, kecuali pada hari ini yakni hari ‘Asyura dan bulan ini yakni
bulan Ramadhan” (HR. Bukhari).
Dari Abu Qadah t, Nabi r bersabda:
) صِيَامُ يـَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّــنَةَ الَّتِي قَــبْلَهُ ( رواه الترمذي
“Puasa hari ‘Asyura, Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa pada satu tahun sebelumnya.” (HR. Tirmidzi)
Hal
ini sangat jelas merupakan keutama-an Allah bagi kita yang menghapus
dosa setahun hanya dengan berpuasa sehari saja, sesungguhnya Allahlah
Pemilik keutamaan yang agung.
Apakah Hari ‘Asyura Itu?! :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: ‘Asyura
dan tasu’a adalah dua nama yang sudah masyhur (terkenal) di dalam
buku-buku bahasa (arab), ‘ulama mazhab kami berkata: ‘Asyura adalah hari
kesepuluh pada bulan Muharram dan Tasu’a adalah hari kesembilan pada
bulan tersebut….. sebagaimana menurut pendapat kebanyakan
‘ulama…penamaan itu dapat diketahui berdasarkan lafazhnya dan keumuman
hadits- haditsnya, dan pendapat inilah yang terkenal dikalangan ahli
bahasa".
Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: ‘Asyura
adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram, ini adalah pendapat Sa’id
bin Al Musayyab dan Al Hasan, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya ia telah berkata:
) أَمَرَ رَسُولُ اللهِ r بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ ( رواه الترمذي
“Rasulullah r memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh (dari bulan Muharram)”.(HHR. Tirmidzi).
Disunnahkan Berpuasa Tasu’a Sebelum ‘Asyura :
Dari Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ r
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا :"يـَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالـنَّصَارَى" فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ r ) فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ( قَالَ "فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ r " رواه مسلم
“Ketika Rasulullah r
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan shahabatnya untuk
berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Asyura adalah
hari yang diagung-kan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka
Rasulullah r bersabda: “Pada tahun mendatang Insya Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan” dia (Ibnu Abbas) berkata: “akan tetapi beliau r telah wafat sebelum tahun depan” (HR. Muslim).
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak dan lainnya berkata : Disunnahkannya berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi r berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Maka
dari itu puasa ‘Asyura bertingkat-tingkat : (pertama): hanya berpuasa
pada hari kesepuluhnya saja, (kedua): berpuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh dan (ketiga) dengan memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Hikmah Disunnahkannya Puasa Tasu’a :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Sebagi-an
‘ulama dari shahabat kami dan lainnya menyebutkan beberapa pendapat
tentang hikmah disunnahkannya puasa Tasu’a, dian-taranya adalah Untuk
menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh”.
Dosa Apakah Yang Dihapus Pada Puasa ‘Asyura :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak termasuk dosa besar”, (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa hari Arafah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan, puasa hari Arafah dan ‘Asyura hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al Fatawa Al Kubra juz 5).
Bid’ah – Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul Islam رحمه الله
pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari
‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan dengan daun
pacar, saling berjabat tangan, mema-sak kacang-kacangan, menampakkan
pera-saan gembira, dan lain sebagainya..apakah kebiasaan-kebiasaan ini
memiliki dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau
menjawab : ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sesungguhnya hal
yang demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam hadits-hadits
nabi yang shohih dan juga tidak pernah dinukil dari para shahabat juga
tabi’in, dan para ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak
mengangapnya sebagai sesuatu yang baik, dan tidak ada satu hadits pun
baik yang shohih atau yang lemah berbicara me-ngenai hal itu, akan
tetapi sebagian orang belakangan meriwayatkannya dari beberapa hadits
seperti hadits yang berbunyi: “Barang siapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana pada tahun itu” dan semisalnya. Telah diriwayat-kan di dalam hadits maudhu (palsu) lagi dusta yang disandarkan kepada Nabi r : “Barang
siapa yang melapangkan keluarga-nya (dalam nafkah belanja dsb) pada
hari ‘Asyura maka Allah akan meluaskan baginya sepanjang tahun”. Riwayat-riwayat seperti ini adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi r.
Kemudian beliau رحمه الله
menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada umat terdahulu berupa
fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan Husain t
serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah kejadian-kejadian
itu, kemu-dian selanjutnya beliau berkata: “Maka fir-qah tersebut
menjadi sesat dan zholim, di-antara mereka ada yang kufur, munafik dan
ada yang termasuk orang yang disesatkan.
Di
antara penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau (Husain) dan
Ahlul Bait secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari
berduka cita dan meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan
jahiliyah seperti menampar pipi, merobek-robek pakaian, saling memanggil
dengan panggilan jahiliyah dan memperdengarkan syair-syair yang
menyedihkan, padahal berita-berita tersebut kebanyakan dusta sehingga
apa yang mereka perbuat hanya menambah dan melahirkan kesedihan, sikap
fanatik, menyulut api peperangan dan me-nyebarnya fitnah diantara kaum
muslimin serta merendahkan generasi terdahulu…. sehingga keburukan dan
bahaya mereka sampai-sampai tidak lagi dapat dihitung dan disebutkan
oleh orang yang fasih.
Karena itu muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang sebagian mereka adalah orang-orang fanatik terhadap Husein t
dan keluarganya sedangkan lainnya ada-lah orang-orang jahil yang
membalas keru-sakan dengan kerusakan, dusta dengan dusta, kejelekan
dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak memalsukan
riwayat-riwayat sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari
‘Asyura seperti mema-kai celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada
keluarganya, memasak ma-kanan yang istimewa dan lainnya seba-gaimana
yang dilakukan pada hari raya. Mereka menjadikan Hari ‘Asyura sebagai
suatu musim seperti layaknya hari raya dan waktu bersedih dan
bergembira. Kedua kelompok tersebut menyimpang dan keluar dari
sunnah…(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al Hajjajرحمه الله menyebutkan
bahwa diantara bid’ah ‘Asyura adalah menye-ngaja untuk mengeluarkan
zakat, sama saja jika mengeluarkannya di awal atau diakhir waktu,
mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai daun pacar bagi
wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
-Abu Muhammad-
Maraji’ : Nasyrah “Fadhlu ‘Asyura wa Syahrullahi Al Muharram, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
(Al Fikrah Tahun 3 Edisi 15/Wahdah Islamiyah)
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ r الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ : )مَا هَذَا ؟( قَالُوا : "هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى" قَالَ ) فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْـكُمْ( فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ رواه البخاري
“Setelah Nabi SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, beliau bekata: “apakah ini?”,
mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik dimana Allah menyelamatkan
bani Israil dari musuh-musuhnya hingga Musa berpuasa pada hari itu”,
selanjut-nya beliau berkata: “Saya lebih berhak atas Musa dari kalian”, maka beliau berpuasa dan memerin-tahkan shahabatnya untuk berpuasa pada hari itu (HR. Bukhari).
Sebenarnya puasa ‘Asyura telah dikenal pada zaman jahiliyah sebelum datangnya zaman nubuwwah, dari Aisyah رضي الله عنها ia telah berkata:
) أَنَّ قُرَيــْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ( رواه البخاري
“Sesungguhnya orang-orang jahiliyah juga ber-puasa pada hari itu…”. (HR. Bukhari)
Imam Qurthubi رحمه الله berkata: “Mungkin orang-orang Quraisy waktu itu masih berpegang dengan syariat sebelumnya seperti syariat Nabi Ibrahim u, dan juga telah diriwayatkan bahwa Nabi r
berpuasa ‘Asyura di Makkah sebelum hijrah ke Madinah dan setibanya di
Madinah beliau kemudian menemukan orang-orang Yahudi merayakan hari itu,
maka Nabi menanyakan hal tersebut dan mereka berkata sebagaimana telah
disebutkan di dalam hadits yang lalu, lalu beliau memerintahkan
sahabatnya untuk me-nyelisihi kebiasaan mereka yang menjadikan ‘Asyura
sebagai hari raya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Musa t :
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَ تَـتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r ) صُومُوهُ أَنْـتُمْ ( رواه مسلم
“‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menganggapnya sebagai hari raya” Maka Nabi r bersabda: “Berpuasalah kalian pada hari itu” (HR. Muslim).
Keutamaan Puasa ‘Asyura :
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
) مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ r
يَـتَحَرَّى صِيَامَ يـَوْمٍ فَضَّــلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا
الْيـَـوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّـهْرَ يَعْنِي شَـهْرَ
رَمَضَانَ( رواه البخاري
“Saya tidak melihat Nabi r
memperhatikan satu hari untuk berpuasa yang beliau utamakan dari
selainnya, kecuali pada hari ini yakni hari ‘Asyura dan bulan ini yakni
bulan Ramadhan” (HR. Bukhari).
Dari Abu Qadah t, Nabi r bersabda:
) صِيَامُ يـَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّــنَةَ الَّتِي قَــبْلَهُ ( رواه الترمذي
“Puasa hari ‘Asyura, Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa pada satu tahun sebelumnya.” (HR. Tirmidzi)
Hal
ini sangat jelas merupakan keutama-an Allah bagi kita yang menghapus
dosa setahun hanya dengan berpuasa sehari saja, sesungguhnya Allahlah
Pemilik keutamaan yang agung.
Apakah Hari ‘Asyura Itu?! :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: ‘Asyura
dan tasu’a adalah dua nama yang sudah masyhur (terkenal) di dalam
buku-buku bahasa (arab), ‘ulama mazhab kami berkata: ‘Asyura adalah hari
kesepuluh pada bulan Muharram dan Tasu’a adalah hari kesembilan pada
bulan tersebut….. sebagaimana menurut pendapat kebanyakan
‘ulama…penamaan itu dapat diketahui berdasarkan lafazhnya dan keumuman
hadits- haditsnya, dan pendapat inilah yang terkenal dikalangan ahli
bahasa".
Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: ‘Asyura
adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram, ini adalah pendapat Sa’id
bin Al Musayyab dan Al Hasan, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya ia telah berkata:
) أَمَرَ رَسُولُ اللهِ r بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ ( رواه الترمذي
“Rasulullah r memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh (dari bulan Muharram)”.(HHR. Tirmidzi).
Disunnahkan Berpuasa Tasu’a Sebelum ‘Asyura :
Dari Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ r
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا :"يـَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالـنَّصَارَى" فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ r ) فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ( قَالَ "فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ r " رواه مسلم
“Ketika Rasulullah r
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan shahabatnya untuk
berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Asyura adalah
hari yang diagung-kan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka
Rasulullah r bersabda: “Pada tahun mendatang Insya Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan” dia (Ibnu Abbas) berkata: “akan tetapi beliau r telah wafat sebelum tahun depan” (HR. Muslim).
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak dan lainnya berkata : Disunnahkannya berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi r berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Maka
dari itu puasa ‘Asyura bertingkat-tingkat : (pertama): hanya berpuasa
pada hari kesepuluhnya saja, (kedua): berpuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh dan (ketiga) dengan memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Hikmah Disunnahkannya Puasa Tasu’a :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Sebagi-an
‘ulama dari shahabat kami dan lainnya menyebutkan beberapa pendapat
tentang hikmah disunnahkannya puasa Tasu’a, dian-taranya adalah Untuk
menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh”.
Dosa Apakah Yang Dihapus Pada Puasa ‘Asyura :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak termasuk dosa besar”, (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa hari Arafah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan, puasa hari Arafah dan ‘Asyura hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al Fatawa Al Kubra juz 5).
Bid’ah – Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul Islam رحمه الله
pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari
‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan dengan daun
pacar, saling berjabat tangan, mema-sak kacang-kacangan, menampakkan
pera-saan gembira, dan lain sebagainya..apakah kebiasaan-kebiasaan ini
memiliki dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau
menjawab : ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sesungguhnya hal
yang demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam hadits-hadits
nabi yang shohih dan juga tidak pernah dinukil dari para shahabat juga
tabi’in, dan para ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak
mengangapnya sebagai sesuatu yang baik, dan tidak ada satu hadits pun
baik yang shohih atau yang lemah berbicara me-ngenai hal itu, akan
tetapi sebagian orang belakangan meriwayatkannya dari beberapa hadits
seperti hadits yang berbunyi: “Barang siapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana pada tahun itu” dan semisalnya. Telah diriwayat-kan di dalam hadits maudhu (palsu) lagi dusta yang disandarkan kepada Nabi r : “Barang
siapa yang melapangkan keluarga-nya (dalam nafkah belanja dsb) pada
hari ‘Asyura maka Allah akan meluaskan baginya sepanjang tahun”. Riwayat-riwayat seperti ini adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi r.
Kemudian beliau رحمه الله
menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada umat terdahulu berupa
fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan Husain t
serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah kejadian-kejadian
itu, kemu-dian selanjutnya beliau berkata: “Maka fir-qah tersebut
menjadi sesat dan zholim, di-antara mereka ada yang kufur, munafik dan
ada yang termasuk orang yang disesatkan.
Di
antara penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau (Husain) dan
Ahlul Bait secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari
berduka cita dan meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan
jahiliyah seperti menampar pipi, merobek-robek pakaian, saling memanggil
dengan panggilan jahiliyah dan memperdengarkan syair-syair yang
menyedihkan, padahal berita-berita tersebut kebanyakan dusta sehingga
apa yang mereka perbuat hanya menambah dan melahirkan kesedihan, sikap
fanatik, menyulut api peperangan dan me-nyebarnya fitnah diantara kaum
muslimin serta merendahkan generasi terdahulu…. sehingga keburukan dan
bahaya mereka sampai-sampai tidak lagi dapat dihitung dan disebutkan
oleh orang yang fasih.
Karena itu muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang sebagian mereka adalah orang-orang fanatik terhadap Husein t
dan keluarganya sedangkan lainnya ada-lah orang-orang jahil yang
membalas keru-sakan dengan kerusakan, dusta dengan dusta, kejelekan
dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak memalsukan
riwayat-riwayat sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari
‘Asyura seperti mema-kai celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada
keluarganya, memasak ma-kanan yang istimewa dan lainnya seba-gaimana
yang dilakukan pada hari raya. Mereka menjadikan Hari ‘Asyura sebagai
suatu musim seperti layaknya hari raya dan waktu bersedih dan
bergembira. Kedua kelompok tersebut menyimpang dan keluar dari
sunnah…(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al Hajjajرحمه الله menyebutkan
bahwa diantara bid’ah ‘Asyura adalah menye-ngaja untuk mengeluarkan
zakat, sama saja jika mengeluarkannya di awal atau diakhir waktu,
mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai daun pacar bagi
wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
-Abu Muhammad-
Maraji’ : Nasyrah “Fadhlu ‘Asyura wa Syahrullahi Al Muharram, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
(Al Fikrah Tahun 3 Edisi 15/Wahdah Islamiyah)
Imam Nawawi رحمه الله berkata: ‘Asyura
dan tasu’a adalah dua nama yang sudah masyhur (terkenal) di dalam
buku-buku bahasa (arab), ‘ulama mazhab kami berkata: ‘Asyura adalah hari
kesepuluh pada bulan Muharram dan Tasu’a adalah hari kesembilan pada
bulan tersebut….. sebagaimana menurut pendapat kebanyakan
‘ulama…penamaan itu dapat diketahui berdasarkan lafazhnya dan keumuman
hadits- haditsnya, dan pendapat inilah yang terkenal dikalangan ahli
bahasa".
Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: ‘Asyura
adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram, ini adalah pendapat Sa’id
bin Al Musayyab dan Al Hasan, hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya ia telah berkata:
) أَمَرَ رَسُولُ اللهِ r بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ ( رواه الترمذي
“Rasulullah r memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh (dari bulan Muharram)”.(HHR. Tirmidzi).
Disunnahkan Berpuasa Tasu’a Sebelum ‘Asyura :
Dari Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ r
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا :"يـَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالـنَّصَارَى" فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ r ) فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ( قَالَ "فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ r " رواه مسلم
“Ketika Rasulullah r
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan shahabatnya untuk
berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Asyura adalah
hari yang diagung-kan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka
Rasulullah r bersabda: “Pada tahun mendatang Insya Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan” dia (Ibnu Abbas) berkata: “akan tetapi beliau r telah wafat sebelum tahun depan” (HR. Muslim).
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak dan lainnya berkata : Disunnahkannya berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi r berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Maka
dari itu puasa ‘Asyura bertingkat-tingkat : (pertama): hanya berpuasa
pada hari kesepuluhnya saja, (kedua): berpuasa pada hari kesembilan dan
kesepuluh dan (ketiga) dengan memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Hikmah Disunnahkannya Puasa Tasu’a :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Sebagi-an
‘ulama dari shahabat kami dan lainnya menyebutkan beberapa pendapat
tentang hikmah disunnahkannya puasa Tasu’a, dian-taranya adalah Untuk
menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh”.
Dosa Apakah Yang Dihapus Pada Puasa ‘Asyura :
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak termasuk dosa besar”, (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa hari Arafah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan, puasa hari Arafah dan ‘Asyura hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al Fatawa Al Kubra juz 5).
Bid’ah – Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul Islam رحمه الله
pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari
‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan dengan daun
pacar, saling berjabat tangan, mema-sak kacang-kacangan, menampakkan
pera-saan gembira, dan lain sebagainya..apakah kebiasaan-kebiasaan ini
memiliki dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau
menjawab : ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sesungguhnya hal
yang demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam hadits-hadits
nabi yang shohih dan juga tidak pernah dinukil dari para shahabat juga
tabi’in, dan para ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak
mengangapnya sebagai sesuatu yang baik, dan tidak ada satu hadits pun
baik yang shohih atau yang lemah berbicara me-ngenai hal itu, akan
tetapi sebagian orang belakangan meriwayatkannya dari beberapa hadits
seperti hadits yang berbunyi: “Barang siapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana pada tahun itu” dan semisalnya. Telah diriwayat-kan di dalam hadits maudhu (palsu) lagi dusta yang disandarkan kepada Nabi r : “Barang
siapa yang melapangkan keluarga-nya (dalam nafkah belanja dsb) pada
hari ‘Asyura maka Allah akan meluaskan baginya sepanjang tahun”. Riwayat-riwayat seperti ini adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi r.
Kemudian beliau رحمه الله
menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada umat terdahulu berupa
fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan Husain t
serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah kejadian-kejadian
itu, kemu-dian selanjutnya beliau berkata: “Maka fir-qah tersebut
menjadi sesat dan zholim, di-antara mereka ada yang kufur, munafik dan
ada yang termasuk orang yang disesatkan.
Di
antara penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau (Husain) dan
Ahlul Bait secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari
berduka cita dan meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan
jahiliyah seperti menampar pipi, merobek-robek pakaian, saling memanggil
dengan panggilan jahiliyah dan memperdengarkan syair-syair yang
menyedihkan, padahal berita-berita tersebut kebanyakan dusta sehingga
apa yang mereka perbuat hanya menambah dan melahirkan kesedihan, sikap
fanatik, menyulut api peperangan dan me-nyebarnya fitnah diantara kaum
muslimin serta merendahkan generasi terdahulu…. sehingga keburukan dan
bahaya mereka sampai-sampai tidak lagi dapat dihitung dan disebutkan
oleh orang yang fasih.
Karena itu muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang sebagian mereka adalah orang-orang fanatik terhadap Husein t
dan keluarganya sedangkan lainnya ada-lah orang-orang jahil yang
membalas keru-sakan dengan kerusakan, dusta dengan dusta, kejelekan
dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak memalsukan
riwayat-riwayat sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari
‘Asyura seperti mema-kai celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada
keluarganya, memasak ma-kanan yang istimewa dan lainnya seba-gaimana
yang dilakukan pada hari raya. Mereka menjadikan Hari ‘Asyura sebagai
suatu musim seperti layaknya hari raya dan waktu bersedih dan
bergembira. Kedua kelompok tersebut menyimpang dan keluar dari
sunnah…(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al Hajjajرحمه الله menyebutkan
bahwa diantara bid’ah ‘Asyura adalah menye-ngaja untuk mengeluarkan
zakat, sama saja jika mengeluarkannya di awal atau diakhir waktu,
mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai daun pacar bagi
wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
-Abu Muhammad-
Maraji’ : Nasyrah “Fadhlu ‘Asyura wa Syahrullahi Al Muharram, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
(Al Fikrah Tahun 3 Edisi 15/Wahdah Islamiyah)
Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak termasuk dosa besar”, (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa hari Arafah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan, puasa hari Arafah dan ‘Asyura hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al Fatawa Al Kubra juz 5).
Bid’ah – Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul Islam رحمه الله
pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari
‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan dengan daun
pacar, saling berjabat tangan, mema-sak kacang-kacangan, menampakkan
pera-saan gembira, dan lain sebagainya..apakah kebiasaan-kebiasaan ini
memiliki dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau
menjawab : ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sesungguhnya hal
yang demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam hadits-hadits
nabi yang shohih dan juga tidak pernah dinukil dari para shahabat juga
tabi’in, dan para ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak
mengangapnya sebagai sesuatu yang baik, dan tidak ada satu hadits pun
baik yang shohih atau yang lemah berbicara me-ngenai hal itu, akan
tetapi sebagian orang belakangan meriwayatkannya dari beberapa hadits
seperti hadits yang berbunyi: “Barang siapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana pada tahun itu” dan semisalnya. Telah diriwayat-kan di dalam hadits maudhu (palsu) lagi dusta yang disandarkan kepada Nabi r : “Barang
siapa yang melapangkan keluarga-nya (dalam nafkah belanja dsb) pada
hari ‘Asyura maka Allah akan meluaskan baginya sepanjang tahun”. Riwayat-riwayat seperti ini adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi r.
Kemudian beliau رحمه الله
menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada umat terdahulu berupa
fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan Husain t
serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah kejadian-kejadian
itu, kemu-dian selanjutnya beliau berkata: “Maka fir-qah tersebut
menjadi sesat dan zholim, di-antara mereka ada yang kufur, munafik dan
ada yang termasuk orang yang disesatkan.
Di
antara penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau (Husain) dan
Ahlul Bait secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari
berduka cita dan meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan
jahiliyah seperti menampar pipi, merobek-robek pakaian, saling memanggil
dengan panggilan jahiliyah dan memperdengarkan syair-syair yang
menyedihkan, padahal berita-berita tersebut kebanyakan dusta sehingga
apa yang mereka perbuat hanya menambah dan melahirkan kesedihan, sikap
fanatik, menyulut api peperangan dan me-nyebarnya fitnah diantara kaum
muslimin serta merendahkan generasi terdahulu…. sehingga keburukan dan
bahaya mereka sampai-sampai tidak lagi dapat dihitung dan disebutkan
oleh orang yang fasih.
Karena itu muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang sebagian mereka adalah orang-orang fanatik terhadap Husein t
dan keluarganya sedangkan lainnya ada-lah orang-orang jahil yang
membalas keru-sakan dengan kerusakan, dusta dengan dusta, kejelekan
dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak memalsukan
riwayat-riwayat sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari
‘Asyura seperti mema-kai celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada
keluarganya, memasak ma-kanan yang istimewa dan lainnya seba-gaimana
yang dilakukan pada hari raya. Mereka menjadikan Hari ‘Asyura sebagai
suatu musim seperti layaknya hari raya dan waktu bersedih dan
bergembira. Kedua kelompok tersebut menyimpang dan keluar dari
sunnah…(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al Hajjajرحمه الله menyebutkan
bahwa diantara bid’ah ‘Asyura adalah menye-ngaja untuk mengeluarkan
zakat, sama saja jika mengeluarkannya di awal atau diakhir waktu,
mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai daun pacar bagi
wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
-Abu Muhammad-
Maraji’ : Nasyrah “Fadhlu ‘Asyura wa Syahrullahi Al Muharram, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
(Al Fikrah Tahun 3 Edisi 15/Wahdah Islamiyah)