Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan atas dasar takwa
kepada Allah dan keridhaan-Nya itu lebih baik, ataukah orang-orang yang
mendirikan bangunan di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu
roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam? Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (at-Taubah [9]: 109)
Rasa salut patut kita berikan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) saat berkunjung ke Kairo, Mesir, awal Februari lalu. Di
hadapan civitas akademika Universitas al-Azhar ia berkata, “Saya kira
pimpinan al-Azhar setuju dengan saya bahwa kita harus memajukan
peradaban Islam agar bisa memimpin dunia ini kembali.”
Pernyataan ini mudah-mudahan memang keluar dari lubuk hati SBY yang
paling dalam dan bukan sekadar basa-basi politik semata. Pernyataan ini
semoga menjadi ungkapan keimanan SBY akan kebenaran Islam. Mudah-mudahan
SBY mengimani bahwa tak ada sistem yang lebih sempurna di dunia ini
selain apa yang telah dibuat oleh Sang Pencipta.
Sejarah telah mencatat, sebelum Islam turun, masyarakat Arab masih
memiliki peradaban jahiliah. Ketika itu banyak orangtua yang tega
membunuh anak kandungnya sendiri, mabuk dan judi ada di mana-mana,
jumlah kriminalitas tinggi, bisnis syahwat tak terkendali, hukum rimba
berlaku di sana-sini. Lalu, setelah Islam datang, peradaban jahiliah
hilang berganti dengan peradaban mulia.
Bagaimana cara Nabi SAW mengubahnya? Tentu saja dengan menjalankan
perintah Allah SWT yang turun lewat wahyu. Itulah syariat Islam.
Menegakkan peradaban Islam tak cukup sekadar menegakkan akhlak yang
mulia saja. Peradaban Islam juga dibangun dari syariat Islam.
Kita tahu, Rasulullah SAW telah dikaruniai Allah dengan akhlak yang
mulia sejak sebelum turunnya Islam, bahkan sejak beliau masih kecil.
Kemuliaan itulah yang menyebabkan beliau dijuluki al-amin oleh
masyarakat Arab.
Andai akhlak yang mulia ini saja dipandang cukup untuk menegakkan
peradaban Islam, tentu saja Allah tak akan menurunkan al-Qur`an. Namun
faktanya, Allah masih perlu menurunkan al-Qur`an kepada Nabi Muhammad
SAW. Ini berarti syariat amat penting guna menyempurnakan tegaknya
peradaban mulia tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Rasa-rasanya gambaran peradaban
jahiliah yang dulu melanda negeri Arab, juga terjadi di Indonesia saat
ini. Coba simak berita di televisi dan koran. Ada anak yang dibunuh dan
dijual oleh ibunya, remaja tawuran, wanita diperkosa, pejabat korupsi,
pelacur mengumbar syahwat, gay dan waria mencari mangsa di mana-mana,
tak sedikit pula jumlah pemabuk dan penjudi.
Fakta-fakta ini membuat sekelompok kecil masyarakat yang betul-betul
menjaga imannya merasa rindu kembalinya masa kejayaan Islam pada masa
Rasulullah SAW dulu. Jika dulu Rasulullah SAW mampu membangun peradaban
mulia hanya dalam waktu 23 tahun, bilakah Indonesia mampu bangkit
seperti itu juga?
Harapan itu menemukan sedikit cahaya manakala sejumlah daerah di
Indonesia sudah berani menerapkan Perda Syariat, sejumlah partai Islam
sudah berani terang-terangan menyebut-nyebut syariat Islam sebagai
tujuan perjuangan mereka, dan sejumlah ormas Islam juga berani dengan
lantang mencita-citakan tegaknya syariat dan khilafah di muka bumi.
Dan, pidato Presiden SBY di Kairo tersebut, rasa-rasanya menambah
terang cahaya yang amat kecil di antara kegelapan yang saat ini
menyelimuti negara kita. Namun, semua kita serahkan kembali kepada
Allah. Bila Dia berkehendak, tiada yang mustahil bagi-Nya. Wallahu
a’lam.*
(Akbar; Hidayatullah.com)