Kiat Mengimani Para Rasul

8:18 PM

Fitrah manusia senantiasa membutuhkan figur yang bias diteladani dalam kehidupannya. Fakta sejarah telah mencatat, setiap kali terjadi krisis akhlak atau dekadensi moral pada suatu kaum, maka secepatnya Allah SWT akan mengutus seorang Nabi atau Rasul di tengah-tengah mereka. Puncak kejahiliyahan umat manusia adalah di masa kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Namun, Allah SWT telah menetapkan bahwa Rasulullah SAW adalah nabi akhir zaman dan tidak akan ada lagi nabi dan rasul sesudahnya. Padahal, kejahiliyahan manusia di akhir zaman tidak kalah hebatnya dibandingkan masa lalu. Hampir semua kemaksiatan yang pernah dilakukan oleh manusia pada zaman nabi Adam AS sampai umat Muhammad SAW sekarang semua sudah dilakukan.
Dalam keadaan demikian timbul pertanyaan, bagaimana manusia modern sekarang dapat mengatasi permasalahannya? Mampukah manusia meneladani para Nabi sekaligus melanjutkan risalah yang telah diwariskan kepadanya? Jawabnya, ya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
Pertama, meyakini bahwa Allah SWT senantiasa mengutus seorang Nabi dan Rasul kepada satu kaum yang telah melupakan Pencipta-Nya, lupa hak dan kewajibannya, bahkan mengerjakan perbuatan keji dan munkar serta kemusyrikan.
Setiap kaum tidak pernah kosong dari Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT. Mereka membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat sebelumnya yang diperbarui.
Betapa urgennya beriman kepada Nabi dan Rasul, karena merupakan fondasi agama dan amal-amal ibadah. Tanpa mengimani Rasul, alias ingkar pada Rasul, maka amal kebaikan gugur serta jauh dari rahmat Allah SWT. Bahkan mereka akan ditimpa musibah dan azab yang pedih, sebagaimana firman Allah SWT:
…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur [24]:63)
Kedua, menjadikan Nabi dan Rasul sebagai teladan dalam kehidupan.
Setiap kaum yang dibimbing dan dipimpin langsung oleh seorang Nabi dan Rasul niscaya akan senantiasa melahirkan peradaban terbaik bagi manusia. Karena faktor inilah maka manusia tidak boleh dibiarkan hidup tanpa seorang figur pemimpin yang dapat diteladani sekaligus mengantarkan manusia mencapai keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.
Karenanya, di mana pun manusia berada senantiasa diiringi seorang Rasul, sejak pertama, yaitu Nabi Nuh dan yang terakhir, Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman:Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya … (An-Nisa [4]: 163)
Ketiga, mencontoh puncak keteladanan manusia yang terletak pada diri Rasulullah SAW, karena Allah SWT tidak menurunkan Nabi dan Rasul sesudahnya.
Allah SWT berfirman, Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab [33]:40)
Rasulullah SAW memberikan penegasan kepada umatnya dan seluruh manusia dengan sabdanya, “Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya! Tidak seorang pun yang mendengar tentang aku dari umat (manusia) ini, seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dunia dan tidak beriman kepada yang aku diutus karenanya, kecuali ia termasuk menjadi penduduk neraka”. (Riwayat Muslim I/34)
Dengan demikian esensi beriman kepada Rasul adalah pengakuan secara tulus, baik melalui ucapan, perbuatan, dan pembenaran dengan hatinya, akan keberadaan Muhammad SAW sebagai hamba dan utusan-Nya.
Keimanan tersebut tentu saja membawa konsekuensi logis bagi seseorang yang telah bersyahadat. Apa saja konsekuensinya setelah beriman kepada Rasulullah SAW? Berikut beberapa di antaranya:
1. Mengamalkan sifat shidq.
Sifat shidq adalah berperilaku benar dalam perkataan maupun perbuatan. Terkait hal ini Allah SWT berfirman
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah [9]: 119)
Sebagai seorang mukmin, kita wajib berdakwah (mengajak manusia ke jalan Allah SWT) sesuai dengan peran kita masing-masing. Untuk itu, tidak mungkin kita menyampaikan sesuatu dusta, tidak sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
Rasulullah SAW, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, menjelaskan bahwa orang beriman semestinya berkata benar. Jika tidak memungkinkan maka lebih baik diam.
2. Menunjukkan sifat amanah
Sifat amanah yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW sejak kecil membuat beliau kerap dipercaya untuk menyelesaikan perselisihan di antara kaum Quraisy. Peristiwa pertikaian yang membuahkan kesepakatan Hilf al-Fudhul adalah contohnya.
Contoh lain adalah ketika Nabi Muhammad SAW mendamaikan para pemuka Quraisy yang bertikai mengenai siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad di bangunan Kakbah.
3. Meneladani sifat tabligh.
Sifat tabligh artinya gemar menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh manusia dan tidak menyembunyikannya. Sifat ini menjadi keniscayaan pada diri seorang Rasul sebagaimana Allah SWT menyatakannya dalam surat Al-Maidah [5] ayat 67.
Tugas ini pun melekat pada diri setiap Muslim. Allah SWT bahkan menjelaskan dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 159 bahwa orang-orang yang menyembunyikan kebenaran akan dilaknat oleh-Nya, juga oleh semua makhluk.
Nabi SAW juga bersabda, “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu dia tidak mau menjawab (menyembunyikannya), niscaya dia di hari kiamat akan dikekang dengan tali kekang dari api neraka.”
4. Mencontoh sifat fathanah.
Fathanan artinya cerdas dan pandai. Manusia perlu cerdas dan pandai. Bahkan, Allah SWT memuji orang-orang yang seperti ini. Firman Allah SWT:… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat … (Al-Mujadilah [58]: 11)
Ilmu dibutuhkan dalam rangka beribadah dan memahami petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Hanya saja, ilmu itu haruslah bermanfaat, terutama untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, damai, sejahtera, adil, dan beradab (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Selanjutnya, untuk meneladani pribadi para Rasul, kaum Muslim saat ini harus berhadapan dengan dua hal utama. Pertama, segala jenis perang, baik perang pemikiran (al-ghazw al-fikry), fisik berupa ekspansi barat ke negeri-negeri Islam, maupun perang idiologi, terutama liberalisme yang begitu subur di negeri-negeri Islam.
Target utama liberalisme adalah meniadakan aturan yang bersumber dari agama. Intinya, mereka ingin kebebasan tanpa batas.
Hal utama kedua adalah kekuatan militer, finansial, jaringan informasi, dan kekuatan berbasis material lainnya.
Untuk mengatasi dua hal utama ini dan tampil sebagai pemenang, tak ada cara lain selain mengikuti jejak-jejak yang pernah ditinggalkan oleh para Rasul dahulu. Wallahu a’lam bish Shawab
(Akbar/Suara Hidayatullah)