Tawakal, kata sifat yang sudah terlanjur digunakan sehari-hari di
negeri ini, sebenarnya merupakan kata kerja perintah (fi’il amr).
Istilah yang benar dalam kaidah Bahasa Arab adalah tawakkul.
Pembahasan tentang sifat mulia ini di dalam al-Qur`an bisa dijumpai
dalam puluhan ayat. Tidak kurang dari 70 ayat yang tersebar di 31 surat,
menjelaskan tentang segala hal yang terkait dengan tawakal. Hal ini
menujukkan betapa pentingnya tawakal dalam kehidupan manusia.
Cermin Keimanan
Sifat tawakal itu sendiri sangat erat kaitannya dengan keimanan. Tak
mungkin membicarakan tawakal tanpa mambahas keimanan terlebih dahulu.
Ibaratnya, membangun rumah harus dimulai dari pondasi. Jika tidak, rumah
tersebut akan hancur.
Allah SWT berfirman, “… Dan hanya kepada Allah saja hendaknya kamu
bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Al-Maidah [5]:
23)
Meski demikian, ia tidak boleh berhenti pada tataran keyakinan, tapi
harus mewujud dalam bentuk sikap, perilaku, dan kepribadian yang tampak
sehari-hari.
Agar sifat tawakal itu bisa terwujud, terus tumbuh dan berbuah, ia
harus dipelihara, dirawat, bahkan dijaga dengan hati-hati. Itulah
sebabnya orang beriman wajib mentarbiyah dirinya, baik secara pribadi
maupun jama’i, melalui amalan yaumiyah (harian) yang berkelanjutan
sehingga berdampak pada pembentukan karakter. Salah satunya dengan doa
dan zikir.
Banyak amalan harian yang menjadi wirid Rasulullah SAW yang patut
dicontoh, baik dalam ibadah maupun kegiatan sehari-hari. Misalnya,
setiap hendak bepergian beliau membaca doa, yang artinya, “Dengan nama
Allah, aku bertawakal hanya kepada Allah, dan tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan izin Allah,” (Riwayat Tirmidzi).
Tiga Menyimpang, Satu Lurus
Ada tiga golongan manusia yang dipandang menyimpang dari nilai tawakal.
Pertama, golongan manusia yang medewakan rasio (akal), dan sebaliknya
mereka menafikkan (menolak) tawakal. Mereka meyakini bahwa kesuksesan
manusia hanya ditentukan oleh ikhtiar dan usaha mereka sendiri. Adapun
ketetapan dan takdir Allah Ta’ala tidak berarti.
Berserah diri kepada ketentuan Allah SWT (tawakal), menurut mereka,
merupakan tindakan yang harus dijauhi karena bertentangan dengan akal
sehat.
Pandangan seperti itu sejalan dengan ideologi Fir’aun beserta
sekutunya yang diungkapkan dalam ayat berikut, “…Sesungguhnya harta
kekayaan yang banyak ini aku dapatkan tidak dengan pertolongan siapa
pun melainkan dengan ilmuku sendiri… (Al-Qashash [28]: 78)
Golongan kedua mempunyai pandangan sebaliknya. Mereka berkeyakinan
bahwa segala bentuk ikhtiar dan usaha manusia tidak ada gunanya. Semua
sudah ditentutan oleh Allah SWT.
Tak ada gunanya usaha manusia, sebab semua sudah telah ditentukan.
Mau menjadi kaya atau miskin, pintar atau bodoh, semuanya ketetapan dan
takdir Allah SWT. Segala sesuatu harus diterima apa adanya.
Aliran ini juga bertentangan dengan ketetapan Allah SWT. Al-Qur`an
telah menegaskan bahwa Allah SWT akan mengubah nasib manusia sebanding
dengan usahanya.
Allah SWT berfirman, “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kuam, sehingga mereka (berusaha) mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri… (Ar-Ra’du [13]: 11)
Sedangkan golongan ketiga adalah mereka yang bersikap
setengah-setengah. Mereka mengaku Muslim tetapi sikap mereka tidak
sedikit pun menunjukkan perilaku pasrah kepada Allah SWT.
Mereka mengaku beriman tapi hati mereka kosong dari tawakal
kepada-Nya. Keimanan mereka sekadar verbalisme, hanya di mulut. Perilaku
golongan ini terlihat jelas terutama pada saat mereka diuji oleh Allah
SWT, baik pada saat menerima kenikmatan maupun mendapat musibah. Mereka
lupa diri dan tidak bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Sebaliknya,
ketika mendapat musibah, mereka berputus asa.
Ketiga golongan di atas, jelas-jelas telah tersesat. Mereka telah
menyimpang dari ketentuan Allah SWT. Mereka telah mengingkari hukum
Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW.
Golongan Selamat
Hanya satu golongan yang selamat. Mereka adalah orang-orang yang
lurus dalam menjalankan syariat. Mereka yakin bahwa apa saja yang
menimpa manusia, baik atau buruk, memang ketentuan Allah SWT. Tidak ada
satu peristiwa pun yang terjadi tanpa izin dan restu Allah SWT.
Segalanya sudah ditulis dalam kitab-Nya.
Firman Allah SWT , “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami
melainkan apa-apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah
pelindung kami, dan hanya kepada Allah saja orang-orang beriman
bertawakal. (At-Taubah [9]: 51)
Meski demikian, sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan sunnah
Rasulullah SAW, kita diwajibkan pula oleh syariat untuk membuat rencana,
berusaha, dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Setelah itu baru
bertawakal dan berserah diri pada takdir Allah SWT.
Intinya, tawakal yang sungguh-sungguh ikut menjadi sebab dan tidak
melalaikan Sang Pencipta Sebab. Secara lahiriyah kita wajib berikhtiar
bersama sebab, namun secara batin kita beriman kepada takdir Allah SWT.
Bersandar hanya pada sebab dan menganggapnya sebagai puncak segala
sesuatu dalam merealisasikan tujuan adalah kekafiran dan kemusyrikan.
Demikan juga meninggalkan sebab yang diperlukan bagi perbuatannya,
padahal ia mampu menyiapkannya adalah kedurhakaan.
Seorang Muslim harus meninggalkan keduanya dan memohon ampun kepada Allah SWT.
Sendi-sendi Tawakal
Ada tiga sendi pokok penyerahan diri kepada Allah SWT. Pertama, ‘azam
atau kebulatan tekad yang diimplementasikan dalam bentuk rencana,
program, usaha, dan ikhtiar yang sungguh-sungguh. ‘Azam merupakan bagian
tak terpisahkan dari sikap tawakal.
Sikap tawakal akan menjadi cacat tanpa kebulatan tekad. Rasulullah
SAW berkali-kali memberi contoh kepada kita bagaimana persiapan beliau
saat menghadapi peperangan. Beliau mematangkan strategi sembari
bermusyawarah dengan para Sahabat. Barulah kemudian beliau berserah diri
kepada Allah SWT.
Sendi kedua adalah ridha terhadap ujian. Cobaan hidup merupakan
kemestian dari Allah SWT yang pasti terjadi. Siapapun pasti melewati
ujian, baik berupa kebaikan maupun keburukan.
Di antara ujian kebaikan yaitu sehat, rezeki melimpah, jabatan
tinggi, dan paras rupawan. Sedangkan ujian keburukan bisa berupa sakit,
kekurangan rezeki, kecelakaan, atau di-PHK.
Allah SWT berfirman, “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami
akan menguji (iman) kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(iman) yang sebenar-benarnya. ( Al-Anbiya’ [21]: 35)
Adapun sendi ketiga adalah sabar dan syukur. Tak ada tawakal tanpa
sabar dan syukur. Ibarat burung, jika ingin bisa terbang jauh ia harus
mempunyai dua sayap yang dapat dikepakkan. Bila salah satunya sulit
dikembangkan, maka burung itu akan jatuh ke tanah. Seperti itulah nilai
sabar dan syukur dalam kaitannya dengan tawakal.
Sungguh menakjubkan keadaan orang-orang mukmin, kata Rasulullah SAW
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Semua urusan selalu menjadi baik
buat mereka. Jika mendapat kesenangan dia bersyukur, dan jika ditimpa
musibah dia bersabar. Wallahu a’lam bish shawab.