Tawakal, Barometer Iman

8:21 PM

Tawakal, kata sifat yang sudah terlanjur digunakan sehari-hari di negeri ini, sebenarnya merupakan kata kerja perintah (fi’il amr). Istilah yang benar dalam kaidah Bahasa Arab adalah tawakkul.
Pembahasan tentang sifat mulia ini di dalam al-Qur`an bisa dijumpai dalam puluhan ayat. Tidak kurang dari 70 ayat yang tersebar di 31 surat, menjelaskan tentang segala hal yang terkait dengan tawakal. Hal ini menujukkan betapa pentingnya tawakal dalam kehidupan manusia.

Cermin Keimanan
Sifat tawakal itu sendiri sangat erat kaitannya dengan keimanan. Tak mungkin membicarakan tawakal tanpa mambahas keimanan terlebih dahulu. Ibaratnya, membangun rumah harus dimulai dari pondasi. Jika tidak, rumah tersebut akan hancur.
Allah SWT berfirman, “… Dan hanya kepada Allah saja hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Al-Maidah [5]: 23)
Meski demikian, ia tidak boleh berhenti pada tataran keyakinan, tapi harus mewujud dalam bentuk sikap, perilaku, dan kepribadian yang tampak sehari-hari.
Agar sifat tawakal itu bisa terwujud, terus tumbuh dan berbuah, ia harus dipelihara, dirawat, bahkan dijaga dengan hati-hati. Itulah sebabnya orang beriman wajib mentarbiyah dirinya, baik secara pribadi maupun jama’i, melalui amalan yaumiyah (harian) yang berkelanjutan sehingga berdampak pada pembentukan karakter. Salah satunya dengan doa dan zikir.
Banyak amalan harian yang menjadi wirid Rasulullah SAW yang patut dicontoh, baik dalam ibadah maupun kegiatan sehari-hari. Misalnya, setiap hendak bepergian beliau membaca doa, yang artinya, “Dengan nama Allah, aku bertawakal hanya kepada Allah, dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah,” (Riwayat Tirmidzi).

Tiga Menyimpang, Satu Lurus
Ada tiga golongan manusia yang dipandang menyimpang dari nilai tawakal.
Pertama, golongan manusia yang medewakan rasio (akal), dan sebaliknya mereka menafikkan (menolak) tawakal. Mereka meyakini bahwa kesuksesan manusia hanya ditentukan oleh ikhtiar dan usaha mereka sendiri. Adapun ketetapan dan takdir Allah Ta’ala tidak berarti.
Berserah diri kepada ketentuan Allah SWT (tawakal), menurut mereka, merupakan tindakan yang harus dijauhi karena bertentangan dengan akal sehat.
Pandangan seperti itu sejalan dengan ideologi Fir’aun beserta sekutunya yang diungkapkan dalam ayat berikut, “…Sesungguhnya harta kekayaan yang banyak ini aku dapatkan tidak dengan pertolongan siapa pun melainkan dengan ilmuku sendiri… (Al-Qashash [28]: 78)
Golongan kedua mempunyai pandangan sebaliknya. Mereka berkeyakinan bahwa segala bentuk ikhtiar dan usaha manusia tidak ada gunanya. Semua sudah ditentutan oleh Allah SWT.
Tak ada gunanya usaha manusia, sebab semua sudah telah ditentukan. Mau menjadi kaya atau miskin, pintar atau bodoh, semuanya ketetapan dan takdir Allah SWT. Segala sesuatu harus diterima apa adanya.
Aliran ini juga bertentangan dengan ketetapan Allah SWT. Al-Qur`an telah menegaskan bahwa Allah SWT akan mengubah nasib manusia sebanding dengan usahanya.
Allah SWT berfirman, “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kuam, sehingga mereka (berusaha) mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (Ar-Ra’du [13]: 11)
Sedangkan golongan ketiga adalah mereka yang bersikap setengah-setengah. Mereka mengaku Muslim tetapi sikap mereka tidak sedikit pun menunjukkan perilaku pasrah kepada Allah SWT.
Mereka mengaku beriman tapi hati mereka kosong dari tawakal kepada-Nya. Keimanan mereka sekadar verbalisme, hanya di mulut. Perilaku golongan ini terlihat jelas terutama pada saat mereka diuji oleh Allah SWT, baik pada saat menerima kenikmatan maupun mendapat musibah. Mereka lupa diri dan tidak bersyukur ketika mendapatkan nikmat. Sebaliknya, ketika mendapat musibah, mereka berputus asa.
Ketiga golongan di atas, jelas-jelas telah tersesat. Mereka telah menyimpang dari ketentuan Allah SWT. Mereka telah mengingkari hukum Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW.

Golongan Selamat
Hanya satu golongan yang selamat. Mereka adalah orang-orang yang lurus dalam menjalankan syariat. Mereka yakin bahwa apa saja yang menimpa manusia, baik atau buruk, memang ketentuan Allah SWT. Tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi tanpa izin dan restu Allah SWT. Segalanya sudah ditulis dalam kitab-Nya.
Firman Allah SWT , “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa-apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah saja orang-orang beriman bertawakal. (At-Taubah [9]: 51)
Meski demikian, sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, kita diwajibkan pula oleh syariat untuk membuat rencana, berusaha, dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Setelah itu baru bertawakal dan berserah diri pada takdir Allah SWT.
Intinya, tawakal yang sungguh-sungguh ikut menjadi sebab dan tidak melalaikan Sang Pencipta Sebab. Secara lahiriyah kita wajib berikhtiar bersama sebab, namun secara batin kita beriman kepada takdir Allah SWT.
Bersandar hanya pada sebab dan menganggapnya sebagai puncak segala sesuatu dalam merealisasikan tujuan adalah kekafiran dan kemusyrikan. Demikan juga meninggalkan sebab yang diperlukan bagi perbuatannya, padahal ia mampu menyiapkannya adalah kedurhakaan.
Seorang Muslim harus meninggalkan keduanya dan memohon ampun kepada Allah SWT.

Sendi-sendi Tawakal
Ada tiga sendi pokok penyerahan diri kepada Allah SWT. Pertama, ‘azam atau kebulatan tekad yang diimplementasikan dalam bentuk rencana, program, usaha, dan ikhtiar yang sungguh-sungguh. ‘Azam merupakan bagian tak terpisahkan dari sikap tawakal.
Sikap tawakal akan menjadi cacat tanpa kebulatan tekad. Rasulullah SAW berkali-kali memberi contoh kepada kita bagaimana persiapan beliau saat menghadapi peperangan. Beliau mematangkan strategi sembari bermusyawarah dengan para Sahabat. Barulah kemudian beliau berserah diri kepada Allah SWT.
Sendi kedua adalah ridha terhadap ujian. Cobaan hidup merupakan kemestian dari Allah SWT yang pasti terjadi. Siapapun pasti melewati ujian, baik berupa kebaikan maupun keburukan.
Di antara ujian kebaikan yaitu sehat, rezeki melimpah, jabatan tinggi, dan paras rupawan. Sedangkan ujian keburukan bisa berupa sakit, kekurangan rezeki, kecelakaan, atau di-PHK.
Allah SWT berfirman, “Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji (iman) kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (iman) yang sebenar-benarnya. ( Al-Anbiya’ [21]: 35)
Adapun sendi ketiga adalah sabar dan syukur. Tak ada tawakal tanpa sabar dan syukur. Ibarat burung, jika ingin bisa terbang jauh ia harus mempunyai dua sayap yang dapat dikepakkan. Bila salah satunya sulit dikembangkan, maka burung itu akan jatuh ke tanah. Seperti itulah nilai sabar dan syukur dalam kaitannya dengan tawakal. 

Sungguh menakjubkan keadaan orang-orang mukmin, kata Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Semua urusan selalu menjadi baik buat mereka. Jika mendapat kesenangan dia bersyukur, dan jika ditimpa musibah dia bersabar. Wallahu a’lam bish shawab.